Cerita Memprihatinkan Sutan Irwan Tanjung: Perjuangan Panjang Mencari Keadilan di Tengah Konflik Keluarga




Cerita Memprihatinkan Sutan Irwan Tanjung: Perjuangan Panjang Mencari Keadilan di Tengah Konflik Keluarga


Kasus pidana ringan seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat. Namun, cerita Sutan Irwan Tanjung, seorang ayah yang berjuang melawan konflik rumah tangga dan sistem hukum, membuka mata banyak pihak tentang bagaimana penanganan perkara bisa begitu berlarut-larut hingga memakan waktu lebih dari setahun.

*Latar Belakang Kasus*
Kasus ini berawal dari laporan Sutan pada 5 September 2023 mengenai pelanggaran Pasal 284 KUHP tentang perzinahan. Setelah melalui serangkaian proses, berkas perkara akhirnya dinyatakan lengkap (P21) pada Agustus 2024, dengan sidang pertama digelar pada 16 Oktober 2024. Namun, proses panjang ini baru mencapai putusan akhir pada 18 Desember 2024, di mana Sutan mengaku tidak puas dengan hasilnya.

Sutan merasa putusan tersebut tidak adil dan menuduh adanya keberpihakan dari pihak hakim. Dalam curhatannya, ia menyebut para hakim sebagai "bangsat" dan "anjing," mencerminkan kekecewaannya yang mendalam atas proses hukum yang dijalaninya.

*Konflik Keluarga yang Berujung Derita*
Tidak hanya menghadapi proses hukum yang panjang, Sutan juga harus menerima kenyataan pahit berupa keterpisahan dari kedua anaknya. Ia bercerita tentang bagaimana mantan istrinya membawa anak-anak pergi sejak 2022. Selama itu pula, Sutan merasa tidak bisa berkomunikasi atau bertemu dengan anak-anaknya.

"Saya kirim uang 2-3 juta per bulan untuk anak-anak, tapi mereka tidak diurus dengan baik. Anak-anak sering ditelantarkan, bahkan mengalami kekerasan dari nenek mereka," ungkapnya. Ia menambahkan, anaknya yang masih kecil hanya diberi makan dua kali sehari dengan lauk sederhana, sementara anak sulungnya kerap diusir untuk tidur di luar rumah.

Pada 19 September 2024, Sutan mencoba mengambil anak-anaknya dari rumah mantan istri. Namun, usaha itu justru berujung kekerasan. Ia mengaku dilempari kursi plastik dan diusir oleh mantan mertua, mantan istri, serta saudara mantan istrinya. "Padahal, status saya dan istri belum ada gugatan cerai secara hukum," ujarnya.

*Tuntutan Keadilan yang Berakhir Kekecewaan*
Selain konflik keluarga, Sutan juga menyoroti rumah yang dihuni mantan istri dan mertuanya. Rumah tersebut, menurutnya, telah ia renovasi pada tahun 2014 dengan biaya mencapai Rp80 juta. Namun, alih-alih mendapat haknya, ia merasa justru diperlakukan tidak adil.

"Keadilan seolah tidak berpihak pada saya. Para hakim mendukung perzinahan. Bagaimana jika ini terjadi pada mereka? Apakah mereka tidak akan merasa sakit hati?" tegasnya.

*Menghadapi Jalan Buntu*
Kecewa dengan hasil putusan hakim, Sutan mengaku sudah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan, meski dalam curhatannya tersirat rasa putus asa. Ia bahkan menyebutkan kemungkinan menggunakan "hukum rimba" atau melakukan tindakan ekstrem jika keadilan tidak berpihak padanya.

"Saya sudah siapkan soft gun untuk menembak kedua pelaku perzinahan. Jika tidak ada perubahan dari putusan hakim, saya siap dihukum. Anak saya yang sudah dewasa bisa menjaga adik-adiknya," ungkapnya, menyiratkan rasa frustrasi yang mendalam.

*Pelajaran dari Kisah Ini*
Kisah Sutan Irwan Tanjung menjadi gambaran nyata betapa konflik keluarga dan proses hukum yang lambat bisa menambah penderitaan bagi pihak yang merasa terzalimi. Kasus ini juga memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana sistem hukum mampu memberikan keadilan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan?

Di tengah polemik ini, penting bagi masyarakat dan aparat hukum untuk merenungkan bagaimana penanganan perkara keluarga seharusnya dilakukan. Keputusan yang tidak adil tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada anak-anak yang menjadi korban dalam konflik semacam ini.

Rudy/Red

Post a Comment

أحدث أقدم