PT. Kahuripan Raya Diduga "Abaikan" Hak Masyarakat Penggarap
ANEKAFAKTA.COM,Bogor –
Permasalahan tanah garapan masyarakat Desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, tidak kunjung menemui kata sepakat atau damai.
Jarkasih, selaku tokoh masyarakat setempat yang juga Koordinator JAJAKA (Jaga Alam, Jaga Kampung) mengatakan kepada media ini bahwa dari sejak zaman kakek dan neneknya merupakan penduduk asli Desa Iwul dan Bojongsempu dan dari sejak dulu kehidupannya baik-baik saja.
Bahkan, waktu ada PTPN pun mereka mengaku baik-baik saja.
"Kita masyarakat menempati tanah ini secara turun-temurun, namun pasca berahlinya tanaman karet pada tahun 2013 muncul pihak yang mengklaim mempunyai lahan tersebut yang dulunya bekas tanaman karet HGU PTPN," kata Jarkasih, Minggu (13/10/2024).
Pada bulan Juni 2024, lanjut Jarkasih, PT. Kahuripan Raya menurunkan alat berat tanpa adanya pendekatan dan sosialisasi kepada para penggarap di lahan tersebut. Padahal mayoritas para penggarap lahan tersebut telah menggarap ada yang lebih dari 30 tahun di lahan tersebut.
"Pokoknya di atas 10 tahun para penggarap tersebut menjaga dan memelihara alam, menjaga mata air dan debit air tanah kita kualitasnya masih bagus. Akan tetapi dari bulan Juli 2024, kita kaget dengan mulai adanya cut and fill ada pengurukan tanah dan pemindahan tanah dari lahan darat ke lahan air atau sawah, itu yang membuat kita sedih serta tanaman masyarakat seperti pohon sengon, singkong yang baru ditanam dua bulan di babat habis tanpa ada bicara tentang kompensasi," jelasnya.
Padahal, kata Jarkasih, tanaman tersebut menyimpan cadangan air. Bahkan, PT. Kahuripan Raya juga mengklaim jalan, padahal jalan tersebut sudah ada sebelum kakek nenek warga Desa Iwul meninggal dunia.
"PT. Kahuripan Raya juga menghantam atau menyasar ke situs-situs sejarah, ada delapan titik pemakaman leluhur kami yang mereka klaim juga, bahwa pemakaman itu diatas dalam penguasaan PT. Kahuripan Raya," imbuhnya.
Menurutnya, pengerusakan yang dilakukan pihak perusahaan dengan menggunakan alat berat terhadap tanah garapan masyarakat, memiliki bukti-buktinya berupa video saat alat berat merusak pohon sengon yang masih produktif, pohon singkong milik penggarap yang ditanam menggunakan modal sendiri.
Berarti dengan adanya pemerataan tanah ini mengakibatkan kerugian masyarakat serta merusak ekosistem yang dampaknya sekarang ini debit air berkurang, kehilangan mata pencaharian, menunjukan dampak buruk sosial dan para petani sangat dirugikan dengan adanya kegiatan masuknya alat berat tersebut.
Selain itu, secara legalitas kepemilikan, Jarkasih mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki
surat over alih garapan yang di tanda tangani oleh pemerintahan Desa Iwul dan dalam surat over
alih garapan juga dinyatakan bukan tanah milik PT. Kahuripan Raya, melainkan tanah Negara.
"Artinya, kita memiliki hak sebagai masyarakat atas tanah itu, masyarakat yang terdampak atas adanya kegiatan tersebut sebanyak dua ribu penduduk, namun untuk dampak buruk terhadap alam ya tentunya secara keseluruhan," ungkapnya.
Atas persoalan tersebut, pada tanggal 03 Oktober 2024, masyarakat Desa Iwul diundang oleh pihak
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor untuk melakukan mediasi terkait permasalahan tersebut.
"Kami kaget sebetulnya, karena sebelumnya kami mengirimkan surat kepada BPN Kabupaten
Bogor tidak ditanggapi, tetapi ketika perusahaan yang berkomunikasi dengan pihak BPN langsung
ditanggapinya. artinya, undangan mediasi ini diduga perintah adanya komunikasi antara PT.
Kahuripan Raya dengan pihak BPN Kabupaten Bogor. Namun masyarakat hadir ke kantor BPN
untuk melihat riwayat tanah ataupun asal usul perolehan objek tanah yang diklaim PT. Kahuripan
Raya mengingat masyarakatlah yang merawat atau mengelola objek tanah tersebut, jadi minimal masyarakat dapat memperoleh informasi yang sebenarnya," ujarnya.
Dari hasil pertemuan tersebut, lanjut Jarkasih, masyarakat tidak mendapatkan informasi apapun terkait asal usul perolehan PT. Kahuripan Raya, BPN hanya menyampaikan akan berkoordiansi dengan Kanwil BPN Jawa Barat karena pihak BPN Kabupaten Bogor tidak memiliki warkah, melainkan ada di Kanwil.
"Masyarakat Desa Iwul sangat kecewa dengan tindakan PT. Kahuripan Raya, diatas tanah garapan
masyarakat ada pohon singkong, pohon sengon, rumah dan makam, yang paling disayangkan
makam juga di SHGB kan oleh PT Kahuripan Raya, kok bisa seperti itu dan kami berkeyakinan
tanah tersebut milik kami secara adat, mungkin dirampas pada saat penjajahan, karena kita dapat
melihat jika ada pemakaman tentu ada pemukiman," imbuhnya.
Dia meminta, agar lokasi tanah garapan yang sebagian telah diratakan tersebut tidak ada aktivitas
apapun sebelum ada kesepakatan dan pihaknya dengan harapan tidak ada lagi alih fungsi lahan seperti
yang dilakukan PT. Kahuripan Raya serta memohon kepada pemerintah ataupun pihak terkait untuk membatalkan SHGB tersebut.
"Pemerintah juga harus hadir untuk tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan PT. Kahuripan Raya mengingat tindakan PT. Kahuripan Raya sangat merugikan masyarakat," ujarnya.
Jarkasih mengaku, bahwa masyarakat terutama para penggarap akan selalu patuh terhadap aturan hukum yang berlaku.
Namun, selama hak-haknya belum dipenuhi, ia akan berjuang atau tetap
mempertahankan fungsi lahan.
"Jangan sampai karena hanya orientasi bisnis lalu PT. Kahuripan Raya melakukan hal-hal keji atau kotor seperti merusak tanaman dan menggangu ketertiban masyarakat," sesalnya.
Sementara itu, Praktisi dan Akademisi Hukum, Berto Tumpal Harianja menyoroti persoalan yang dialami masyarakat Desa Iwul.
Menurutnya, ada beberapa hal terkait permasalahan tersebut, diantaranya bahwa para penggarap perlu perlindungan dari pemerintah mengingat hal ini mencakup masyarakat banyak.
"Tanah Garapan adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang
berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu," ujar Berto.
Selain itu, masyarakat juga menggarap sudah turun temurun maka perlu peninjauan ulang terkait
pemberian hak atau perpanjangan SHGB PT. Kahuripan Raya, apakah sesuai dengan ketentuan
atau tidak, terlebih terkait penelitian data yuridis dan data fisik.
"Jika diberikan hak atau
perpanjangan SHGB akan tetapi masyarakat masih menggarap diatas objek tersebut maka perpanjangannya cacat administrasi, karena tidak sesuai dengan data fisik," imbuhnya.
Mengigat masyarakat sudah turun - temurun menggarap objek tanah tersebut bahkan sampai 30 tahun, maka perlu juga meneliti warkah atau asal usul perolehan objek tanah tersebut. Apalagi diatas
tanah sudah ada makam, rumah dan lain sebagainya.
"Apakah para penggarap maupun pihak Pemerintah Desa Iwul pernah melihat atau menyetujui Berita Acara Persetujuan Penetapan Batas Bidang Tanah dan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah "A" ini perlu supaya permasalahan dengan masyarakat lebih jelas dan terang," katanya.
Perlu diketahui, bahwa diberikannya Hak Guna Bangunan kepada perusahaan dengan ketentuan Undang - undang, seperti penguasaan dan peruntukannya sebagaimana dalam hak yang diberikan,
jika hal tersebut tidak dilakukan maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun 2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, Pasal 7 (3) yang berbunyi : Tanah hak guna bangunan, hak
pakai, dan hak pengelolaan menjadi objek penertiban tanah terlantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.
Hal diatas dipertegas dalam UU Pokok Agraria RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Aagraria, pasal 40 "Hak guna bangunan dihapus karena diterlantarkan".
Red/anekafakta.com
إرسال تعليق