Banyaknya Penyidik Kangkangi Nota Kesepahaman Kapolri & Dewan Pers, Okus Gumilang: Beri Sanksi Tegas dan Jerat secara Hukum!
ANEKAFAKTA.COM,BANDUNG
Maraknya kasus kriminalisasi wartawan seringkali terkait dengan sengketa pemberitaan atau investigasi yang mengungkap kasus-kasus sensitif. Meski Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers telah diadakan untuk melindungi kebebasan pers, kenyataannya, masih banyak jurnalis yang berhadapan dengan proses hukum.
Menyikapi hal tersebut, Okus Gumilang, SH., MH., salah seorang advokat kondang di Kota Bandung, yang selalu intens berkoordinasi dengan para insan media, ketika dimintai tanggapan di kediamannya, seputaran Tegallega Kota Bandung, menyampaikan terkait beberapa faktor penyebab utama dari maraknya kriminalisasi wartawan, di antaranya:
1. Penggunaan Pasal Karet UU ITE - Banyak wartawan dijerat dengan UU ITE, terutama pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong, yang cenderung multitafsir dan dapat digunakan secara represif.
2. Ketidaktahuan atau Ketidakpatuhan Terhadap MoU Kapolri-Dewan Pers
MoU ini mengatur, bahwa sengketa pers harus diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu. Namun, beberapa penyidik tetap memproses laporan tanpa mengacu pada Dewan Pers, sehingga jurnalis langsung menghadapi jalur hukum pidana.
3. Minimnya Perlindungan Hukum Bagi Wartawan di Daerah Wartawan di daerah seringkali lebih rentan terhadap ancaman hukum, intimidasi, dan kekerasan ketika meliput kasus-kasus lokal yang sensitif.
4. Minimnya Pemahaman Masyarakat Tentang Fungsi Pers Beberapa pihak masih melihat pemberitaan kritis sebagai ancaman, bukan bentuk pengawasan publik. Hal ini sering memicu tindakan represif terhadap jurnalis.
Untuk mengatasi hal ini, kata Apih Okus, sapaan karibnya, Dewan Pers dan organisasi jurnalis terus berupaya memberikan edukasi dan advokasi, serta mendorong implementasi MoU secara konsisten. Namun, perlindungan hukum dan penegakan yang lebih kuat masih dibutuhkan untuk memastikan kebebasan pers di Indonesia terjaga.
- Pasal yang Menjerat -
Penyidik yang melanggar atau mengabaikan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kapolri dan Dewan Pers dapat menghadapi tindakan disipliner atau bahkan jeratan hukum. Nota kesepahaman ini dimaksudkan untuk melindungi kebebasan pers dan memastikan, bahwa penyelesaian sengketa pers dilakukan melalui Dewan Pers, bukan jalur hukum pidana langsung.
Jika penyidik memproses kasus yang terkait dengan sengketa pers tanpa merujuk terlebih dahulu ke Dewan Pers, mereka dapat dianggap telah melanggar prosedur yang diatur. Dalam hal ini, pelanggaran terhadap MoU tersebut bisa dikenakan sanksi administratif atau tindakan lebih lanjut jika ditemukan unsur pelanggaran kode etik atau hukum yang lebih berat.
"Hal ini bertujuan untuk menjaga agar pers dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas publik dan pilar demokrasi tanpa intimidasi atau kriminalisasi yang tidak sesuai," tandasnya.
Ketika disinggung, kemana harus melakukan pelaporan, terkait kinerja Penyidik Polri yang mengangkangi aturan tersebut? Okus pun menanggapi; jika ada penyidik yang mengabaikan atau melanggar Nota Kesepahaman antara Kapolri dan Dewan Pers, pelapor dapat menempuh beberapa langkah berikut untuk melaporkannya:
1. Dewan Pers: Sebagai lembaga yang mengawasi kebebasan pers, Dewan Pers dapat menerima pengaduan terkait pelanggaran prosedur ini. Dewan Pers memiliki mekanisme untuk memberikan perlindungan kepada wartawan dan akan berkoordinasi dengan Kepolisian untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur yang sesuai.
2. Propam Polri: Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri menerima laporan terkait pelanggaran kode etik dan prosedur yang dilakukan oleh anggota Polri, termasuk penyidik. Pelapor dapat menyampaikan laporan ke Propam Polri atau Propam di Polda setempat dengan bukti-bukti pendukung.
3. Ombudsman RI: Ombudsman Republik Indonesia dapat menerima laporan terkait tindakan maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Ombudsman akan melakukan investigasi dan, jika terbukti, akan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki pelanggaran.
4. LBH Pers atau Organisasi Advokasi Jurnalis: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers atau organisasi advokasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga dapat memberikan pendampingan hukum. Mereka dapat membantu melaporkan pelanggaran ke Dewan Pers atau Propam dan memberikan dukungan dalam advokasi kebebasan pers.
"Langkah ini akan membantu memastikan agar kasus dapat ditangani dengan prosedur yang sesuai dan kebebasan pers tetap terlindungi," pungkas Okus Gumilang. (Red)
إرسال تعليق