Tim Advokasi Keamanan Siber Berencana Gugat Pemerintah ke PTUN
JAKARTA,Anekafakta.com
Tim Advokasi Keamanan Siber untuk Rakyat (TAKSIR) melayangkan surat keberatan administratif kepada Menkominfo Budi Arie Setiadi dan Kepala BSSN, Hinsa Siburian, ihwal penyerangan terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Upaya ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menuntut tanggung jawab pemerintah secara hukum melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Saat ini, SAFEnet juga secara resmi telah menutup Posko Aduan Korban PDNS yang telah dibuka sejak 27 Juni 2024. Hingga posko ditutup, tercatat sebanyak 60 korban yang mengadu tidak dapat mengakses layanan publik karena terdampak dari serangan PDNS tersebut.
Data itu akan dijadikan bukti untuk menyusun argumentasi gugatan kepada pemerintah atas kelalaian mereka dalam memenuhi hak publik.
TAKSIR mengultimatum bila dalam waktu tertentu Menkominfo dan Kepala BSSN tidak memenuhi tuntutan, proses selanjutnya adalah melakukan banding administratif kepada Presiden Jokowi Widodo. Setelah itu, pengajuan gugatan administratif kepada PTUN dapat dilakukan.
Advokat Publik LBH Jakarta dan Tim Kuasa Hukum TAKSIR, Fadhil Alfathan, mengatakan, keberatan ini diajukan sebagai upaya untuk menuntut pertanggungjawaban hukum dari Menkominfo dan Ketua BSSN terkait peretasan PDNS beberapa waktu lalu, yang menyebabkan berbagai layanan publik menjadi terganggu.
Mereka menilai Budi Arie dan Hinsa adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas insiden tersebut. Pasalnya, dalam berbagai regulasi terkait sistem penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik, Kemenkominfo merupakan penyelenggara dan BSSN adalah pihak yang seharusnya menjamin keamanan siber terhadap PDNS.
Fadhil mengungkap sejumlah alasan mereka menuntut pertanggungjawaban Budi Arie dan Hinsa. Ia mengatakan pada 20 Juni 2024, Menkominfo
RI mengeluarkan siaran pers 409/HM/KOMINFO/06/2024 tentang Pasca Gangguan PDN, Menkominfo: Layanan Publik Segera Pulih Bertahap, yang pada pokoknya mengumumkan bahwa telah terjadi gangguan terhadap Pusat Data Nasional.
Kedua, pada 27 Juni 2024, dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI dan Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Budi menyatakan bahwa layanan di 239 instansi pemerintahan terganggu akibat serangan siber ini.
Selain itu, pada 28 Juni 2024, guna merespons serangan siber terhadap PDNS 2, klien mereka membuka posko pengaduan yang bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat yang tidak dapat mengakses situs/website layanan publik akibat serangan siber tersebut.
"Klien kami telah menampung 60 aduan masyarakat yang terdampak dari serangan siber terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 karena tidak dapat mengakses layanan publik yang berbasis elektronik," kata Fadhil dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/7/2024).
Sementara itu, Advokat Publik LBH Pers dan Tim Kuasa Hukum TAKSIR, Gema Gita Persada, mengatakan, rencana gugatan kepada pemerintah bukan terfokus pada gugatan materiil, melainkan agar bertanggung jawab atas keamanan siber dan data warga.
"Materi gugatan masih kami susun, yang pasti kami tidak hanya akan menggugat atas kerugian material yang dialami oleh korban, tetapi untuk memastikan pemenuhan tanggung jawab pemerintah dan tidak terjadi keberulangan," kata Gema.
Dalam surat keberatan itu, TAKSIR mendesak agar segera menyampaikan pernyataan publik bahwa serangan siber terhadap PDNS 2 pada 20 Juni 2024, yang berdampak pada gangguan terhadap berbagai layanan publik berbasis elektronik terjadi karena kelalaian Ketua BSSN RI bersama Menkominfo RI.
Mereka meminta agar Budi Arie dan Hinsa menyatakan permohonan maaf secara resmi kepada masyarakat yang terdampak. Permohonan maaf tersebut disampaikan melalui lima media penyiaran nasional, lima media cetak nasional, dan sepuluh media online.
Lalu, segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sistem pengawasan dan keamanan siber yang ada. Langkah-langkah ini harus mencakup peningkatan kemampuan deteksi dan respons terhadap ancaman siber, serta koordinasi yang lebih baik dengan Menkominfo RI dan instansi terkait lainnya. Menurut TAKSIR, hal tersebut penting guna memastikan jaminan keamanan siber yang lebih baik di masa mendatang.
"Memberikan transparansi terkait langkah-langkah yang telah dan akan diambil untuk menangani situasi ini. Masyarakat berhak mengetahui apa yang sedang dilakukan untuk memulihkan layanan publik dan mencegah kejadian serupa terulang kembali," tutup Gema.
(Realis)
إرسال تعليق