Jakarta, anekafakta.com,
Menurut keterangan ahli jika awalnya ini adalah kasus perdata seharusnya disidangkan perdatanya dahulu baru jika ditemukan adanya unsur pidana baru kemudian ditingkatkan menjadi pidana bukan lansung menjadi kasus pidana .Dan menurutnya dalam Perkara ini setelah mempelajari kasus ini ahli mengatakan ini adalah murni kasus perdata dan dalam prosesnya dimana sebelumnya antara pelapor dan terlapor sudah terjadi musyawarah namun tidak tercapai kesepakatan maka yang terjadi adalah wanprestasi/ingkar janji pada sebuah perjanjian kerjasama dan jelas ini adalah kasus perdata.
"semua sudah kewajiban sudah dilaksanakan oleh terdakwa dan karena ada hal d luar kemampuannya dan terjadi humman error atau force mejeur serta tidak terpenuhi unsur pidana dan minimnya alat bukti maka seharus dibebaskan"ujar Alfitrah kepada awak media.
Sementara itu Risky Martua Lubis SH salah satu kuasa hukum terdakwa kepada media mengatakan,
"Sejak awal kasus ini di naikan ke tanah pidana ini jelas sangat dipaksakan karena sebenarnya ini adalah murni perdata sesuai dengan penjelasan ahli perjanjian bukanlah perbuatan penipuan akan tetapi wanprestasi atau ingkar janji jadi murni klausal perdata jadi alhamdulillah saya berharap dengan penjelasan ahli tadi yang sama sama kita dengar dan dalam sidang lanjutan besok kami berharap putusan bebas atau lepas, agar tidak terjadi salah penafsiran pada awal ini adalah perjanjian antara perusahaan satu dengan perusahaan lain dikarenakan suatu hal ada terkendala jadi intinya kedua terdakwa adalah korban dari perusahaan lain karena sebagai orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab dan sudah duduk bersama menghasilkan adendum atau cash back sementara adendum ini masih berjalan dikarenakan hujan dan force mejeur lain terjadilah ini tapi pada saat terjadi laporan di lakukan di bareskrim polri dalam perkara ini itikad baiknya masih berjalan dan perkara ini ketahuan setelah salah seorang pegawai kedua terdakwa ini dipanggil penyidik nah disitulah baru terjadi dan somasi baru sebulan kemudian jadi intinya ini cacat formil dari awal,"jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama Afrizal. SH. MH yang juga sebagai kuasa hukum terdakwa menegaskan,
"Pada awalnya saat pelaporan di breskri mabes polri kedua terdakwa disangkakan dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang namun setelah kita mengikuti alur perkara karena beliau ditahan 22 Pebruari sehingga baru dapat berkoordinasi dengan penyidik barekrim polri dan JPU sehingga pasal pencucian uang dapat dilepaskan.Kemudian kita masuk ke tanah pasal 372 junto 55 dan pasal 378 yang persidangan sudah yang ke 12 pada saat kita masuk ranah ini sebelum P21 ternyata entah ini kelalaian JPU atau penyidik tau-tau perkaranya di giring ke tanah pidana yang mungkin mereka tidak dipelajari atau mereka tidak digali dulu bahwa dalam perkara ini ada unsur ranah perdatanya dimana dalam sebuah perjanjian antar seorang dengan seorang dalam kontek itikad baik adalah murni pengikatan perdata dan tidak bisa ke ranah pidanapidana", jelasnya.
"Pada awalnya ini adalah sebuah perjanjian kerjasama investasi tambang batubara anatara PT. Khuzan International Development (KDI) dan PT. Ruhui Pancaran Sukses (RPS) karena terjadi kendala dimana sesuai dengan Perjanjian dalam hal ini PT. RPS bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian yang timbul dari pekerjaan ini dan mereka sudah duduk musyawarah tapi dalam musyawarah untuk mencari solusi penyelesaian untuk perbaikan tidak tercapai agar tidak terjadi ke ranah pidana maka akan ditempuh jalur hukum malalui Pengadilan Negeri Samarinda Katim namun ini tidak di lakukan oleh PT. KID tidak lakukan tau -tau mreka membuat dilaporkan ke mabes polri sehingga terdakwa langsung di ciduk walaupun tidak ditahan tapi itu kan tidak prosedur maka dari itu sesuai dengan penjelasan ahli bahwa setiap perjanjian pengikatan tidak bisa di pidanakan".
"Karena itu kami sebgai kuasa hukum meskipun mensa tekanan tidak akan mundur karena dalam konsep lawyer sekalipun harus bertumpus lumus menghadapi kaidah sumpah jabatan yang kami bua kami tidak akan mundur, lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah ketimbang memenjarakan atau menghukum 1 orang yang tidak bersalah, "pungkasnya.
Dalam kasus ini mungkin bisa timbul pertanyaan apakah ini adalah "Skandal Hukum: Dilema Negara Indonesia Mewakili WNA China Tanpa Kejelasan Identitas, BAP, atau Kehadiran di Sidang, Mengadili WNI - Benarkah UU Hanya untuk Melindungi Bangsa Asing?" dan mempertimbangkan kondisi terdakwa yang mempertanyakan identitas WNA di surat kuasa, serta kerumitan kerjasama antara pelapor asal China dengan terdakwa yang berujung pada kerugian bagi terdakwa lebih dari pihak lain tanpa kejelasan kesalahan, terdakwa yang mengalami gangguan kesehatan namun tetap ditahan, serta adanya pasal musyawarah mufakat dalam kerjasama yang dilaporkan padahal proyek belum selesai, muncul pertanyaan: apakah karena pelapor WNA China, warga negara Indonesia dijadikan sasaran kriminalisasi? Ditambah lagi, terdakwa lainnya ternyata merupakan cicit dari pendiri Nahdlatul Ulama, menyulut kecurigaan lebih dalam terhadap keadilan dalam pengadilan.Ini adalah sorotan tajam atas kasus yang mencoreng citra keadilan hukum di negeri ini(red).
(Rudi)
إرسال تعليق