Kejaksaan Agung Raih 74% Kepercayaan Publik Menurut Survei LSI

Kejaksaan Agung Raih 74% Kepercayaan Publik
Menurut Survei LSI


JAKARTA,Anekafakta.com 

Lembaga Survei Indonesia merilis hasil Survei Nasional periode 7
April 2024 s/d 9 April 2024, Kejaksaan Agung menjadi lembaga yang menempati urutan
ketiga dengan nilai 74% dalam kategori Kepercayaan Terhadap Lembaga.
 
Hasil survei terhadap Kejaksaan Agung juga dipengaruhi oleh isu korupsi yang sedang ditangani oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS)
Kejaksaan Agung yakni tindak pidana korupsi komoditas timah.


Dalam survei tersebut, berita terkait korupsi komoditas timah diketahui oleh 40,1%
publik. Dari yang tahu tersebut, mayoritas percaya bahwa Kejaksaan Agung akan mengusut tuntas perkara dimaksud.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Dr. Ketut Sumedana mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat
kepada Kejaksaan, hal itu disampaikan kepada anekafakta.com  Kamis (18/4/204).   

Sebagaimana yang disampaikan Jaksa Agung dalam berbagai
kesempatan, capaian yang diraih harus terus dijaga dan ditingkatkan, karena setiap
tindakan Insan Adhyaksa adalah wajah Kejaksaan di tengah masyarakat ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan selama kepemimpinannya, selalu menitikberatkan pada penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi yang berkualitas, mengakibatkan kerugian besar, berdampak negatif bagi masyarakat, dan pelakunya adalah orang-orang berpengaruh serta status ketokohan, sehingga tidak tersentuh dengan hukum.

Sepanjang kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, beberapa perkara mega korupsi telah berhasil ditangani seperti Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru adalah PT Timah yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah.

"Adapun status perkara-perkara tersebut diantaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya," kata Burhanuddin, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/4/2024).

Atas dasar hal tersebut, Burhanuddin mengatakan, Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum yang selangkah lebih maju dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, yakni dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.

"Hal itu semua diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah," ujar Burhanuddin.

Burhanuddin menyebutkan, sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase "dapat" pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss).

Hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan, namun Burhanuddin menegaskan, bahwa perhitungan kerugian Negara dengan perekonomian Negara adalah dua hal yang berbeda.

"Dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime, menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi (badan hukum) dan konglomerasi (gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan), sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan," ucap Burhanuddin.

Dengan demikian, sebut Burhanuddin, perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan Negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya.

"Di sisi lain, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal," terang Burhanuddin.

Selain itu, kata Burhanuddin, kerugian juga memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.

"Kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan," jelas Burhanuddin.

Hal itu, lanjut Burhanuddin, semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala. Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya.

Maka dari itu, Burhanuddin menyampaikan, bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian Negara dan perekonomian Negara seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal pencegahannya, maka perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum.

"Dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan Negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary," tutur Burhanuddin.

Lebih lanjut, Burhanuddin menekankan, bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar Negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan Negara secara masif.

Sebab, sudah banyak Negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara.

"Meski demikian, kita tidak boleh kalah dengan koruptor. Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama," pungkasnya.

(D.Wahyudi)

Post a Comment

أحدث أقدم