Petrus Herman : Semoga IMLEK Di Tahun Naga Ini, Lebih Memperkuat Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa



Petrus Herman : Semoga IMLEK Di Tahun Naga Ini, Lebih Memperkuat Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa


Tangerang,Anekafakta.com 

 Perayaan Imlek yang identik dengan warna serba merah selalu meriah diperingati setiap tahunnya. Hampir setiap sudut kota dipenuhi dengan berbagai ornamen merah untuk merayakan tahun baru China.

Nuansa keceriaan dan kebebasan menyambut perayaan Imlek saat ini belum terlalu lama dirasakan oleh warga Tionghoa di Indonesia. Sebelumnya, perayaan Imlek menjadi hal yang diharamkan di Indonesia.


Jauh sebelum era Orde Baru, tepatnya saat kepemimpinan Soekarno, etnis Tionghoa dibebaskan untuk merayakan Imlek di muka umum.

Hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional kala itu. Namun, gairah merayakan Imlek seketika hilang saat berganti rezim di era Orde Baru.

Hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional kala itu. Namun, gairah merayakan Imlek seketika hilang saat berganti rezim di era Orde Baru

Berganti ke era kepemimpinan Soeharto, ada banyak perubahan terhadap peraturan perundangan di Indonesia yang dilahirkan. Salah satunya adalah Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Keluarnya peraturan itu menandakan berhentinya kebebasan warga Tionghoa merayakan Imlek di muka umum. Tak ada lagi suasana gegap gempita perayaan Imlek di Indonesia.

Soeharto melarang warganya untuk merayakan Imlek di muka umum. Tak ada ornamen serba merah yang menghiasi sudut kota. Imlek hanya boleh dirayakan di dalam rumah saja.


Perayaan Imlek di Indonesia kala itu seolah tak pernah ada, hari raya Imlek yang menjadi hari libur nasional dihapus. Bahkan, ritual ibadah pemeluk agama Khonghucu yang sarat etnis Tionghoa pun dibatasi, harus dilakukan secara tertutup perorangan.

Kebijakan itu berlangsung selama masa Soeharto selama hampir 32 tahun. Selama itu pula warga Tionghoa harus hidup dalam persembunyian saat Imlek tiba.

Lengsernya Soeharto pada pada 1998 menandakan berakhirnya rezim Orde Baru. Era reformasi menjadi tonggak bangkitnya era kebebasan berekspresi. Di mana, etnis Tionghoa mulai mendapatkan perannya kembali setelah sekian lama terbelenggu.

Semasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada tahun 2000, udara segar mulai dirasakan etnis Tionghoa.


Gus Dur kala itu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dengan berakhirnya Instruksi Presiden itu, warga etnis Tionghoa kembali bebas mengekspresikan diri dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Mereka bebas menggelar pertunjukan barongsai di muka umum hingga menjual berbagai pernak-pernik bernuansa merah di tiap sudut kota. Gus Dur memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa merayakan kepercayaan mereka.

Kemudian Pada 2001, Menteri Agama saat itu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.


Sesuai peraturan itu, hanya warga beretnis Tionghoa saja yang diperbolehkan merayakan Imlek dan merasakan hari libur. Sementara, warga etnis lainnya tetap menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa.

 _Kembalinya Semangat Soekarno_ 

Hingga berganti ke masa Presiden Megawati, atau memasuki tahun 2002, ia mengembalikan sejumlah aturan yang sebelumnya pernah dilakukan di masa kepemimpinan sang ayah, yakni Ir.Soekarno.

Salah satunya adalah menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Di mana sebelumnya hanya warga Tionghoa saja yang boleh libur, namun kali ini, seluruh warga Indonesia bisa ikut merasakan libur di hari raya Imlek seperti hari libur nasional pada umumnya.


Hingga kini, Perayaan Imlek semakin semarak digelar. Nuansa merah menyelimuti seluruh penjuru kota. Hari Imlek pun masih ditetapkan sebagai hari libur nasional yang dirasakan oleh seluruh umat beragama di Indonesia.


Sekretaris DPC REPDEM KOTA Tangerang Petrus Herman menanggapi apa yang sudah dilakukan oleh kedua Putra dan Putri terbaik Bangsa Ini yakni, Alm.KH. ABDURAHMAN WAHID atau biasa disapa dengan GUSDUR dan dilanjutkan kembali kala itu oleh Ibu Megawati Soekarnoputri adalah upaya meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia bisa menjadi rumah bersama, Indonesia adalah rumah kita, termasuk bagi mereka yang berbeda (minoritas), Syaratnya, antara satu kelompok dengan kelompok lain harus terbebas dari kecurigaan demikian tanggapan  yang disampaikan oleh Petrus Herman Aktifis Pro Demokrasi yang bernaung dibawah REPDEM Relawan Perjuangan Demokrasi Salah Satu Sayap Partai PDIP, saat ditemui usai pemasangan Spanduk Ucapan IMLEK di kediamannya di Kecamatan Neglasari Kota Tangerang Senin (5/2/2024).


Petrus kembali menegaskan maka oleh karena itu, masa lalu harus dimaknai sebagai pelajaran yang terus dicari kebenaran faktanya, dan bukan dipelihara sebagai dendam. Saya melihat Dalam pemikiran baik Gus Dur dan Megawati itu bisa terwujud bila bangsa Indonesia bersatu. Di sisi lain, negara saat ini harus mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan. Karena itu, keadilan dibuktikan pertama kali dalam bentuk memberikan kesamaan hukum kepada kelompok minoritas, untuk merawat kebhinekaan, dan menjaga negeri ini dari acaman konflik antar saudara di Indonesia.

Hari ini kita menyaksikan pertengkaran sesama warga-bangsa baik di media sosial,  maupun  di masyarakat terutama para pendukung CAPRES, hanya karena perbedaan pilihan di Pilpres. Hari ini kita mudah dengan lantang menunjuk muka saudara sendiri mengatakan sebagai "orang bodoh", menghujat, bahkan sudah terjadi bentuk intimidasi dan kekerasan....lalu, apa arti persaudaraan kita sebagai warga Indonesia? Tandas Petrus.

Lebih lanjut ia menegaskan kita seakan lupa bahwa di Indonesia semua ada jutaan manusia, ribuan pulau, ada ribuan suku, ada ribuan bahasa, dan ada ribuan budaya, yang semuanya itu adalah kekuatan kita sebagai bangsa dalam bingkai NKRI. Kalau kita mengerti kondisi bangsa kita, mengerti makna persatuan dan kesatuan, mengapa kita melihat orang lain sebagai lawan....?? Seakan-akan kita tidak diberi petuah- keteladanan para pendahulu..lalu, siapa yang kita ikuti?! beber Petrus lagi.

Menurutnya jika kondisi yang demikian , ada tiga lapisan benteng pertahanan untuk membendung upaya memecah-belah keutuhan sebagai bangsa. Pertama, benteng keluarga. Para orang tua harus memainkan peran keluarga, juga sebagai sekolah pertama, bagi putra-putrinya, pupuk rasa Nasionalisme Kepada mereka, salah satunya, perlu ditanamkan nilai dasar kecintaanya  terhadap  kebangsaan dan persaudaraan yang meluas. Di sini, kata "saudara" jangan dibatasi hanya dalam ikatan darah, suku, atau kepercayaan. Tetapi harus diperluas lagi dengan ikatan sesama warga bangsa-negara.... 
" Selamat Merayakan Imlek 2024 " Semoga di Tahun Naga Ini   Memperkuat KEBHINEKAAN kita Sebagai Suatu Bangsa yang Majemuk pungkasnya Petrus.

(D.Wahyudi)

Post a Comment

أحدث أقدم