Nilai-nilai Sufistik Dalam
Membangun Produk Hukum Yang Baik
Penulis: Budi Handoyo,SH.,MH dosen dan Anggota Pengurus Rumah Moderasi Beragama (RMB) STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh Aceh
Hukum adalah seperangkat kaidah atau norma yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga kehidupan bermasyarakat. Hukum itu suatua aturan perintah yang dibuat oleh penguasa, sebagai mana ungkapan John Austin, "Law is a command of the Lawgiver". Hukum merupakan perintah dari penguasa. Dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang otoritas kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.
Maka dari pengertian hukum diatas dapat dipahami, bahwa hukum itu produk politik. Adapun dikatakan politik seseorang yang memiliki dan memegang otoritas kekuasaan. Antara politik dan hukum harus saling bekerja sama, dengan ungkapan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum lalim. Politik sangat menentukan hukum dalam hal ini politik sebagai variabel bebas dan hukum sebagai variabel terpengaruh.
Baik buruknya suatu karakter produk hukum tergantung dari otoritas yang membuat hukum itu sendiri yaitu pihak eksekutif sebagai pemrakasa dan legislatif yaitu DPR sebagai pihak inisiatif yang menetapkan aturan.
Akan tetapi dalam tinjauan Sufistik atau tasawuf baik buruknya suatu produk hukum itu bukan lah semata-mata dari buruknya politik, melainkan buruknya nilai-nilai spiritual dari aktor politik tersebut.
Nilai-nilai spiritual itu suatu esensi yang halus yang terdapat didalam diri aktor politik berupa jiwa (nafsu) yang melekat pada hati aktor politik.
Dorongan (hawa) nafsu yang tercela menimbulkan sikap dekadensi moral yang dapat membuat perilaku negatif bagi pemegang otoritas kekuasaan atau aktor politik termasuk juga bagi penegak hukum (law enforcement) itu sendiri. Fenomena ini mengakibatkan terpuruknya pengambilan kebijakan hukum dan penegakan hukum Indonesia.
Maka sufistik atau tasawuf berperan sebagai lembaga pendidikan ruhani (education spiritual) melalui seorang Syaikh atau sebagai guru tarekat untuk dapat membersihkan hati dan memperbaiki akhlak dan moral bagi pemegang otoritas kekuasaan. Adapun makna tasawuf itu sendiri adalah:
التصوف تدريب النفس على العبودية، وردها لأحكام الربوبية
Tasawuf itu tadrib al-nafs (melatih nafsu) untuk tekun beribadah dan mengembalikan nya kepada hukum-hukum Rububiyah (ketuhanan).
(Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam Haqa'id At-Tasawuf, Dar Al-Taqwa Damaskus hal 18)
Metode pembersihan hati dan penjernihan jiwa dalam tasawuf dalam bentuk ;
1. Takhaliyah yaitu pembersihan hati dari sifat-sifat tercela.
2. Tahliyah yaitu menghiasi hati dengan perilaku terpuji, perbaikan akhak dan mencapi tingkatan Ihsan.
3. Tajalli merupakan buah atau hasil dari tahliyah, yaitu tersingkapnya rahasia cahaya keghaiban yang menerangi jiwa sehingga seseorang akan sirna (fana) pandangannya dari selain Allah dan bersama Allah (baqa) dalam setiap waktu.
Maka dalam hal ini lah peran bagi guru-guru sufi untuk dapat berkomunikasi dan berdakwah kepada para otoritas-otoritas kekuasaan baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk memberikan siraman ruhani, nasihat akam mereka dapat sadar dan kembali kepada jalan yang benar. Hal ini tergantung dari kesadaran spiritual para otoritas-otoritas pemegang kekuasaan itu sendiri. Namun demikian kesadaran itu tak lain semata-mata datang dari taufik dan hidayah Allah swt melalui dakwah spiritual para guru-guru sufi. Sesunggunya suatu peraturan hukum itu baik apabila politik baik, politik akan baik apabila hati dan jiwa para pemegang otoritas kekuasaan bersih dari penyakit-penyakit nafsu.
Oleh karena itu Nilai-nilai Sufistik sangat mempengaruhi kinerja politik dan hukum. Sehingga antara hukum dan politik akan harmonis ibarat perjalanan lokomatif kereta api kembali tersambung dari relnya. Hukum ibarat rel dan politik diibaratkan lokomotif maka, peran Sufistik menyatukan kembali lokomotif kereta api dan rel nya supaya tidak keluar.
إرسال تعليق