Koalisi Masyarakat Sipil Desak Komnas HAM Periksa Kembali Prabowo Subianto dalam Kasus Kejahatan Penghilangan Paksa Aktivis 97-98


Koalisi Masyarakat Sipil Desak Komnas HAM Periksa Kembali Prabowo Subianto dalam
Kasus Kejahatan Penghilangan Paksa Aktivis 97-98


 JAKARTA,Anekafakta.com

Masyarakat Sipil Melawan Lupa menyerahkan surat desakan dan
menyelenggarakan aksi simbolik di depan Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) agar dapat menuntaskan Kasus Kejahatan Pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya
penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Selasa (13/2/2024)


Sebelumnya, pada 28 Januari 2024 lalu, tepatnya
pada momentum acara 'Suara Muda Indonesia Untuk Prabowo-Gibran' di JCC, Senayan, Calon
Presiden RI nomor urut 2, Prabowo Subianto menyampaikan permintaan maaf kepada Agus Jabo
dan Budiman Sudjatmiko. Prabowo secara langsung di depan publik mengakui bahwa pernah
melakukan pengejaran terhadap aktivis pro-demokrasi di medio 1997-1998. Selain itu, Budiman
Sudjatmiko pun telah menjelaskan keterangan serupa, mengaku telah menanyakan perihal kasus
Penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997/1998 kepada Prabowo Subianto yang mana
pada intinya menegaskan bahwa Prabowo Subianto mengakui dirinya melakukan tindakan
tersebut.


Kami menilai bahwa pengakuan ini tentu sudah cukup dijadikan bukti petunjuk bagi Komnas HAM
untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus kejahatan pelanggaran HAM berat penghilangan
aktivis 97-98. Meskipun sebagian korban penghilangan paksa sudah dikembalikan, proses hukum
tentu saja harus terus berjalan terhadap seluruh pelaku yang terlibat. Sampai saat ini, masih
terdapat 13 orang yang belum kembali dan tidak diketahui keberadaannya sehingga, kasus ini
masih jauh dari kata tuntas.


Tentu tidak sulit bagi Komnas HAM untuk mengusut tuntas kasus kejahatan ini mengingat pada
2006 Komnas HAM telah memiliki Tim Ad Hoc Penyelidikan untuk Penghilangan Orang secara Paksa
1997-1998. Saat itu, tim Penyelidik telah memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sjafrie
Sjamsoeddin, dan Faisal Tanjung. Akan tetapi, mereka tidak pernah datang dan hanya diwakili oleh
kuasa hukumnya yang keliru dalam memahami Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang No. 26 tahun
2000 – yang menganggap harus lebih dahulu dibentuk Pengadilan HAM ad hoc sebelum adanya tim
penyelidik.

Hasil penyelidikan pun menunjukkan adanya dugaan keterlibatan dan
pertanggung jawaban komando pada Prabowo Subianto selaku Pangkostrad yang saat itu menjabat
sebagai Danjen Kopassus. 

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada
2009 telah menerbitkan empat rekomendasi terkait kasus Penghilangan Orang secara Paksa
1997-1998, salah satunya berisi agar Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Permintaan maaf dan pengakuan Prabowo terhadap sejumlah korban pun tentu saja tidak
serta-merta menghilangkan pertanggungjawaban pidana pelanggaran berat HAM yang dalam hal ini
adalah penghilangan orang secara paksa. 

Peristiwa penghilangan orang secara paksa tetaplah
merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan merupakan bentuk pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia oleh aparat negara sehingga kasus ini tidak bisa dianggap selesai atau
ditutup. Kasus ini justru semakin kuat untuk diteruskan dengan adanya pengakuan Prabowo dan keterangan saksi. Selain itu, pengakuan yang dilakukan memperkuat alasan diberhentikannya
Prabowo lewat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira No. KEP/03/VIII/1998/DKP tanggal 24
Agustus 1998.


Pengakuan Prabowo yang dilakukan secara terbuka juga sudah seharusnya menjadi salah satu bukti
kuat bagi Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kembali dalam
kapasitasnya sebagai penyelidik sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 18 dan 19 Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Spesifiknya dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang
Pengadilan HAM tersebut, disebutkan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, Komnas HAM
diberikan kewenangan untuk memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk
diminta dan didengar keterangannya.
Berdasarkan ketentuan UU ini, Komnas HAM tentu dapat memanggil Prabowo Subianto sebagai
bagian dari aktor pelaku yang saat itu menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus.

 Lembaga ini
pun dapat turut memanggil Budiman Sudjatmiko sebagai saksi untuk memperkuat bukti
keterlibatan Prabowo.
Kasus ini harus segera dituntaskan, sebab Pemerintah lewat Presiden telah mengakui serta
menyesalkan terjadinya Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 sebagai salah satu dari 12
kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Pengakuan dan penyesalan
tersebut haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah
untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku alih-alih melindungi mereka dengan
tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini.


 Berdasarkan uraian di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:

Pertama, Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa
lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus
penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;

Kedua, Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa
tahun 1997-1998.

Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI
tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih
hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan
meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk
menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.



Jakarta, 13 Februari 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa

Post a Comment

أحدث أقدم