Ganti Rugi tak Dibayar, Petani Kalasey II Desak DPRD Sulut Gelar Hearing
MANADO, ANEKAFAKTA.COM
Warga Petani Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut), menyusul tidak adanya tanda-tanda ganti rugi terhadap lahan milik mereka yang digarap selama puluhan tahun.
Warga petani yang juga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sewaktu terjadinya eksekusi lahan pada 7 November 2022, meminta Ketua DPRD Sulut mengagendakan hearing atau dengar pendapat dengan pengembang pembangunan markas komando (Mako) Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda).
Selain itu, warga juga meminta pimpinan Mako Brimob, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, Pemerintah Kecamatan Mandolang, Pemerintah Desa Kalasey II, untuk hadir dalam hearing tersebut.
Intinya warga menginginkan kejelasan dan kepastian alasan tertunggaknya pembayaran ganti rugi lahan yang hingga sekarang tidak mereka terima. Padahal sebelumnya kata mereka ,kesepakatan ganti rugi lahan telah dibicarakan.
Warga juga menambahkan kalau kejadian serupa sebelumnya pernah terjadi saat pembangunan gedung politeknik pariwisata (Poltekpar), dimana mereka dijanjikan oleh pengembang akan menerima ganti rugi.
Refly Sanggel, juru bicara warga petani mengatakan, penggusuran lahan pertanian pada 7 September lalu menuai banyak kontroversi, disebabkan tidak adanya ganti kerugian meski yang mereka garap sudah sekira 90 tahun lebih.
"Sudah tidak mengganti kerugian, lahan kami juga digusur. Tindakan seperti ini jelas tidak manusiawi karena sumber penghidupan warga petani Kalasey II bersumber dari lahan yang digarap," tandas Refly kepada Anekafakta.com, Kamis (21/09/2023).
Dasar itulah Refly pun berharap kepada DPRD Sulut untuk memanggil hearing semua pihak terkait, guna mencarikan jalan keluar demi terciptanya keadilan sosial bagi warga.
Sementara kuasa hukum warga petani Desa Kalasey II korban pelanggaran HAM, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH M.Kn dan Hanafi Saleh SH, mengingatkan aparat hukum tidak lagi melakukan intimidasi terhadap warga, pasca terjadinya aksi kebrutalan dari sejumlah oknum Brimob Polda Sulut dan Polisi Pamong Praja (Pol-PP) Pemprov Sulut.
Mestinya kata Santrawan dan Hanafi, pengembang dan Mako Brimob Polda Sulut menahan diri untuk melakukan penggusuran sembari menunggu hasil penyelidikan kasus tersebut yang diduga mangkrak di Polda Sulut.
"Harusnya aparat hukum dari Mako Brimob tidak terlibat langsung menggusur lahan tersebut, karena semua ada aturannya. Setahu kami berdua, Mako Brimob tidak tahu-menahu dengan lahan tersebut karena lahan tersebut merupakan hibah dari Pemprov Sulut. Buktinya Mako Brimob tidak memiliki bukti otentik, semisal sertifikat tanah atau bukti-bukti lain kepemilikan lahan," ketus keduanya.
Kecuali itu keduanya juga mempertanyakan uang ganti rugi lahan yang diserahkan pengembang atau pihak ketiga pembangunan gedung Poltekpar kepada Pemprov Sulut.
"Jika dugaan kami ini benar, uangnya dikemanakan. Jangan kita sengsarakan warga yang susah. Dan jika dugaan kami ini benar, kami akan melakukan langkah hukum untuk memprosesnya," imbuh Santrawan dan Hanafi.
(arthur mumu)
إرسال تعليق