Kisah Penangkapan Pimpinan PRD
Jakarta,AnekaFakta.Com.
Hari masih begitu pagi. Sebagian besar penghuni rumah itu masih tertidur. Aktivitas belum dimulai. Terlihat piring dan gelas kotor masih tergetak di meja, sisa-sisa makan tadi malam. Aku terbangun pagi karena badanku berkeringat. Udara dalam rumah it sangat panas. Walau memakai kipas angin, tapi membuat peluh tetap keluar dari tubuhku.
"Pagi Pet," sapa Roso
"Pagi," jawabku
Rupanya Roso sudah bangun. Bahkan dia sudah keluar dari kamar mandi. Diambilnnya gelas dan dia minum air putih, Mungkin itu kebiasaannya setiap pagi.
"Cari koran dan majalah ya. Mumpung masih pagi," pintaku ke dia.
Membeli koran menjadi rutinitas kami sehari-hari. Hampir setiap hari kami memborong media cetak yang terbit hari itu. Selain harian, kami juga memburu tabloid politik dan majalah politik.
Keingintahuan kita sangat tinggi untuk mengikuti perkembangan situasi politik. Bahkan selalu menongkrongi tayangan berita di TVRI. Kami juga tidak pernah melewatkan untuk mendengarkan siaran BBC, Radio Malbourne, Radio Nederland. Ketiga radio itu isi siarannya lebih bebas dari sensor.
Hampir seluruh media saat itu mendapat sensor dari penguasa. Dalam memberitakan mereka harus sejalan dengan kepentingan pemerintah. Sebagian besar media massa isi pemberitaannya menyudutkan PRD (Partai Rakyat Demokratik). Kalau tidak PRD dalang kerusuhan 27 juli, ya PRD komunis. Hampir tidak ada yang berani mencantumkan pernyataan narasumber yang membela PRD, seperti Gus Dur. Media benar-benar tiarap. Walau sistim saat itu tidak ada kebebasan pers, tapi biasanya masih berani "nakal" sedikit. Berani mengkritik pemerintah walau halus, tidak vulgar. Praktis sejak tanggal 29 Juli 1996, saat Menkopolkam mengumumkan PRD adalah dalang kerusuhan 27 Juli, praktis media seakan menjadi corong pemerintah.
Sehari, setelah Peristiwa 27 Juli, Letjen Syarwan Hamid dan Dirjen PPG Subrata dan Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers Jacob Oetama bertemu dengan para pemimpin redaksi pers nasional. Pertemuan itu tidak lebih sebuah intervensi dan tekanan pemerintah kepada media massa.
Selain Menkopolkam, yang sering tampil di media massa adalah Letjend Syarwan Hamid. Jabatan dia Kassospol ABRI. Saat itu TNI mempunyai peran politik. Bahkan TNI mendominasi dalam pemerintahan Orde Baru bersama Golkar.
Hampir setiap hari dia melakukan black campaign kepada PRD. Kami dituduh metaformosis dari PKI. Ayahnya Budiman, Wartono juga dituduh anggota PKI. "Majalah Tempoe sudah terbit bung," ujar Suroso
Rupanya dia sudah selesai membeli media cetak. Dia bersama Ken Budha Kusumandaru menjadi kurir sekaligus pasukan pengaman Aku, Budiman Soejatmiko, dan Yokobus Eko kurniawan. Pengurus Pusat PRD hanya kami bertiga yang mampu berkumpul dan terkonsolidasi. Sementara Anom Astika, Ari Trismana dan Fransiska Ria Susanti tercerai berai paska 27 Juli. Sampai hari ini kami belum mampu mengkonsolidasi mereka. Aparat militer Benar-benar mampu mencerai-beraikan kami. Ditambah, sanggat minim alat komunikasi yang kami miliki. Hanya pager yang selalu aku bawa.
Salah satu tugas Suroso dan Ndaru adalah menjadi kurir. Menjadipenghubung kami dengan bunker lainnya. Bunker adalah istilah bagi tempat persembunyian, yang kadang-kadang hanya sebuah kos-kos-an. Ada beberapa bunker yang bisa kita koordinasi. Tak dipungkiri pula ada beberapa kawan yang memilih bersembunyi secara mandiri, diluar koordinasi partai.
Pengurus Pusat masih bisa menjangkau mereka. Koordinasi berjalan dibantu kurir. Sedangkan kami, Pengurusp Pusat bersembunyi berpindah-pindah. Awalnya di kos-kos Dedy Beruang. Hanya tiga hari, kemudian berpindah ke rumah Pendeta Komar, pendeta HKBP, di daerah pondok Kopi, Jakarta Timur. Kami bisa berpindah ke sana karena Sereida Tambunan meminta bantuan pendeta Saut Sirait. Pendeta Saut Sirait adalah salah satu tokoh di Gereja HKBP. Sereida adalah Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Serikat Tani Nasional (STN). Dia juga anggota HKBP faksi Eporus Nababan, yang saat itu melawan pemerintah.
Beberapa hari kemudian kami berhasil menghubungi Romo Sandyawan. Jhonson Panjaitan lah yang menghubungkan kami dengan sang Romo. Saat itu, Rohaniawan muda itu bergabung di Tim Relawan Pencari Korban Insiden 27 Juli. Sebelumnya, mereka berdua kami kenal sebagai pengurus ISJ (Institut Sosial Jakarta). Bahkan PRD sangat dekat dengan Jhonson karena sama-sama terlibat dalam isu gerakan buruh. "Kalian nanti berganti nama ya. Jangan mengaku nama aslinya. Rumah itu adalah rumah kakak saya bernama Beny Sumardi. Dia bukan aktivis, hanya pengrajin mebel," kata Romo Sandy di salah satu ruang di Kampus STF Driyakarya. Kami pun akhirnya berpindah ke Rumah Pak Beny, tanggal 3 Agustus 1996, di Perumahan Wisma Asri Bekasi. Ketika datang Budiman mengaku bernama Iko. Aku memakai nama Hari, sedangkan Iwan dengan nama Jacob. Ken Ndaru juga tidak memakai nama aslinya. Sementara Roso menyusul satu hari kemudian.
Pak Beny menyambut kami dengan ramah.
"Silahkan duduk Romo,"
"Silahkan adik-adik," sapanya kepada kami semua.
Pak Beny sebenarnya kakak dari Romo Sandy, tetapi sejak Kuncoro ditasbihkan menjadi Pastor, dari Ordo SJ (Serikat Jesiut), ia memanggilnya dengan sebutan Romo. Kuncoro nama panggilan Romo Sandy sewaktu kecil.
"Anak-anak muda ini saya titipkan di sini ya. Jangan boleh keluar rumah. Kalau pun keluar rumah hanya satu orang saja," pinta direktur eksekutif ISJ itu.
Akhirnya kami bersembunyi di rumah pak Beny. Kami sudah bersembunyi di sini selama delapan hari. Kami sudah begitu akrab dengan seluruh anggota keluarga. "Kamu Petrus ya? Iko itu Budiman ya? Dan itu Yokobus Eko Kurniawan?," tanyanya kepadaku dua hari setelah kedatangan kami di rumah itu.
Bapak dua anak itu mengatakannya dengan rasa takut. Ia sodorkan koran yang memuat foto deklarasi PRD. Rupanya dia sudah memahami kalau kami buronan utama pemerintah saat itu. Dia terlihat shock, tak menyangka di rumahnya kini ada buronan paling dicari aparat.
Aku bisa memahaminya. Jangankan dia, aku pun setiap hari berpikir apa tidak berbahaya bagi keluarga ini? Seandanya kami tertangkap, akan seperti apa keluarga ini? Mereka orang biasa, tak pernah bersentuhan dengan tindakan represif aparat. Apalagi menghadapi stigma komunis karena menyembunyikan pimpinan PRD.
Ketika bermain dengan putranya yang berumur 3 tahun, bernama Angga, sungguh aku tidak tega. Melihat istrinya yang lugu, jauh dari hiruk pikuk aktivitas politik. Serta anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMP, bernama Yohan. Kekuatiranku sering muncul, keluarga ini akan ikut "dilumat" kalau aparat berhasil meringkus kami semua.
Romo Sandy terpaksa menempatkan kami di rumah ini, sifatnya sementara.
"Maaf ya teman-teman. Kalian nggak perlu kecewa. Semua kelompok sedang tiarap. Dan tidak mau bersentuhan dengan kalian. Mereka tidak berani menanggung resiko. Sangat sulit mendapat tempat persembunyian buat kalian," ungkap Jhonson Panjaitan saat bertemu di Kampus STF Driyakarya.
Bukan hanya itu saja, Jhonson juga menyampaikan info kalau beberapa kelompok gerakan mengecam PRD bergerak terlalu cepat, tanpa mengindahkan apakah gerakan sudah siap atau belum?
"Di luar aparat membabi-buta. Bukan hanya kepada aktivis PRD, hampir semua aktivis diburu dan mendapat tekanan luar biasa. Situasi ini membuat gerakan tiarap," ujar Biro Hukum ISJ ini.
Setiap hari penguasa mempertontonkan politik represifnya di hadapan Rakyat. Mereka memanggil para tokoh oposisi untuk diperiksa sebagai saksi. Walau hanya sebagai saksi tetapi sudah membuat ketakutan di kalangan gerakan.
Dalam pemberitaannya tanggal 7 Agustus 1996, harian Kompas menulis siapa saja yang akan dipanggil dan sudah diperiksa. Megawati Soekarno Putri, Aberson M Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritmo, dan Sukowalujo, akan dipanggil kedua kalinya. Di luar PDI, Sekjen PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia), Yulius Usman juga akan dipanggil. Sementara yang sudah diperiksa Permadi dan Sekjen Masyumi Baru, Ridwan Saidi. Bahkan Mochtar Pakpahan sudah ditahan di Kejagung.
Kami menyaksikan mereka semua di periksa satu persatu di Gedung Bundar lewat TVRI. Hampir semua menyatakan tidak kenal PRD, atau paling pernah bertemu dengan Budiman, tetapi tidak pernah menjalin kerja sama yang intens.
Saat itu Gedung Bundar di komplek Kejagung menjadi simbol yang menakutkan bagi kaum gerakan. Kalau mungkin sekarang seperti Gedung KPK, simbol menakutkan bagi koruptor.
Selain memeriksa kaum gerakan, Pangdam Jaya Sutiyoso mengeluarkan ancaman
perintah tembak di tempat bagi siapa saja yang melakukan kerusuhan. Perintah tembak ditempat ini menyusul situasi yang mencekam karena banyak gedung mendapat ancaman bom. Kami menduga itu rekayasa aparat militer agar ada alasan untuk melakukan tindakan represif.
Sikap represif dari militer ini efektif merendam munculnya aksi-aksi perlawanan susulan. Apalagi dengan kami yang dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli, dan
mengutuk dengan tuduhan organisasi yang berpaham komunis. Aparat sepertinya murka kepada kami. Mungkin ini operasi militer yang paling masif setelah kejadian 1965.
Pada tanggal 2 Agustus mereka menggrebek rumah Garda Sembiring di Bogor. Karena ditemukan puluhan butir peluru dan senapan FN, ibunya disekap di Polda, sekaligus sebagai sandera agar Garda menyerahkan diri. Ayah dan Ibunya Budiman dipaksa berbicara di Televisi. Sambil mereka menangis meminta Budiman menyerahkan diri. Kami semua menyaksikan di TVRI. Sungguh itu membuat Budiman terpukul.
Aku jadi teringat orang tuaku di desa. Di sebuah kota kecil, Kota Kecamatan Ambarawa. Bagaimana nasib keluargaku, karena di sana sedikit relawan yang bisa menjangkau keluargaku. Apakah mereka tahan menghadapi kecaman masyarakat, baik lewat upacara sekolah dan kotbah-kotbah di Masjid? Apakah aparat juga akan mengrebek rumah keluargaku? Pikiran seperti itu yang membuat aku cemas.
Tanggal 3 Agustus rumah Buyung Husnansyah diserbu aparat. Foto Buyung salah satu foto yang disebar aparat sebagai buronan. Tanggal 4 giliran rumah Andi Arief di Lampung didatangi aparat. Tanggal 4 juga rumah sepupu Munif Laredo, Ketua SMID, di Bogor dipora-porandakan aparat.
Markas-markas kami di Jakarta dan daerah tak luput dari serbuan aparat. Mereka mempora-porandakan dan menyatakan kantor ditutup. Selain dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli, pemerintah juga menetapkan PRD sebagai partai terlarang.
Penangkapan dan penyiksaan paling banyak terjadi di Surabaya. Seperti kesaksian Winuranto Adi (Ketua SMID Malang), dia ditangkap tanggal 7 Agustus di Den Intel Kodam V Brawijaya, di Jalan Ahmad Yani Surabaya.
"Setiap hari selain diintrogasi ya disiksa, digebuki, dipukuli. Tanggal 16 Agustus aku, Trio Marpaung, Rizal, Icha, dan Zainal dilepas dan diserahkan ke Polwitabes Surabaya," ujar Winuranto Adi dalam kesaksiannya di sebuah majalah politik.
Dua tahun setelah peristiwa itu mereka bersaksi di kantor LBH Surabaya, seperti diceritakan oleh majalah D&R, Edisi 980801-050, halaman 54 Rubrik Liputan Utama. Trio Marpaung menerima siksaan dengan cara dipaksa makan kodok. Juga ada David Kris disuruh tidur di lapangan dengan mata menatap Matahari dan harus menghapalkan Pancasila. Bahkan karena introgasinya berlebihan, melelahkan dan memberi tekanan membuat Nia Damayanti keguguran. Saat itu usia kandungannya dua bulan.
Menolak Ke Luar Negeri
Pagi terus berjalan. Kini terang cahaya matahari telah tiba. Kehidupan segera dimulai. Aktivitas di mulai sesiang ini karena hari Minggu.
Awalnya istri Pak Beny bangun, segera mengambil piring dan gelas kotor untuk dicuci. Tak lama kemudian dia sudah membawa nanpan penuh dengan gelas berisi kopi yang asapnya masih mengepul.
Tak lama kemudian di susul Pak Beny. Setelah keluar dari kamar mandi dia langsung meyeruput segelas kopi. Diambilnya salah satu media cetak dan ikut larut membaca bersama Roso. Budiman pun ikut bangun. Tanpa ke kamar mandi langsung dia menyambar Majalah Tempo edisi Agustus. Baginya membaca media adalah sarapannya, lebih penting dari lainnya.
Ken Budha sendiri sejak malam dia tidak menginap di sini. Dia mendapat tugas memposkan surat instruksi ku buat kawan-kawan daerah. Isinya tak lain langkah-langkah organisasi menghadapi situasi seperti ini.
Sekaligus dia harus bertemu dengan seseoramg anggota KIPP Bogor yang juga pengurus PDI. Ken Budha sendiri merupakan anggota KIPP Bogor.
"Oom Hari, ayo main sama Angga," teriak bocah kecil itu.
Kami berdua, selama delapan hari ini, menghabiskan waktu dengan cara bermain bersama. Dia menyukai aku. Entah kenapa? Dan seperti biasanya aku selalu mengelus dada. Aku prihatin kenapa kami harus bersama anak sekecil ini? Kalau kami tertangkap dan anak itu menyaksikan, apakah tidak traumatis?
Selain membaca media dan mengobrol dengan keluarga ini, kami rutin melakukan rapat. Baik membahas liputan media, juga kami mendapat pasokan info dari Romo Sandy. Roso dan Ken Budha juga banyak membawa info dari luar, baik dari bungker atau teman-teman PDI.
Seperti malam itu, kami rapat sejenak, sekitar pukul 19.00 WIB. Kami menunggu kedatangan Romo Sandhy. Hari ini kami akan dipindahkan dari rumah ini. Mereka merasa sudah tidak aman lagi. Pertaruhan mereka cukup besar. Bukan hanya resiko kami tertangkap, tetapi juga keamanan pihak-pihak yang telah membantu kami bersembunyi.
Tokoh utamanya Romo Sandy dan Gunawan Muhamad. Tetapi masih ada pihak-pihak yang lain membantu kami bersembunyi.
Seperti Gunawan Muhamad, dia sebenarnya merancang kami untuk melarikan diri ke Filipina lewat jalur laut. Dia sudah menyiapkan skenario ini. "Maaf Romo, kami menolak pergi meninggalkan Indonesia. Sebagai pimpinan kami harus tetap di Indonesia. Ini tanggungjawab kami untuk tetap mengkoordinir kawan-kawan yang masih dalam kondisi kocar-kacir," ucap Budiman kepada Romo Sandy untuk disampaikan ke Gunawan Muhamad.
Karena kami menolak, Gunawan Muhamad yang jaringan medianya begitu luas membuat isu kalau Budiman cs sudah melarikan diri ke Filipina. Isu itu cukup berhasil bergulir di media massa. Tujuannya untuk mengelabui aparat dan menurunkan tingkat intensitas aparat memburu kami.
Kami sendiri akhir-akhir ini sangat dekat dengan pendiri Majalah Tempo itu. Walau posisi kami membela Pramoedya Ananta Toer, tetapi tidak menghalangi kedekatan PRD dengan tokoh Manikebu itu. Kami memandang Gunawan Muhamad telah banyak berubah, terutama setelah pembredelan Majalah Tempo.
"Dia sekarang radikal dan praksis. Mau bergerak di barisan oposisi melawan Orde Baru," ucap Budiman beberapa bulan lalu dalam rapat pengurus pusat.
Mereka, Budiman, Dita Indah Sari dan Gunawan Muhamad sering terlibat diskusi mendalam. Mereka sama-sama menjadi anggota Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Tahun 1996 menjadi tahun perlawanan. Mereka memandang Pemilu 1997 adalah momentum. Kaum oposisi harus intervensi di sana. Seperti mereka menyakini KIPP akan menjadi Namfrel (National Citizen's Movement for Free Election) seperti di Filipina. Tidak hanya sekedar lembaga pemantau pemilu, tetapi jauh dari itu menjadi alat bagi rakyat untuk melawan Rezim Soeharto.
Kata Budiman, penulis Catatan Pinggir Majalah Tempo itu sangat tertarik dengan ide-ide politik PRD, seperti demokrasi multi partai, cabut 5 UU Politik dan dwi Fungsi ABRI, serta pendirian partai. Baginya itu inspiratif, karena dilakukan oleh anak-anak muda. Tetapi politik berjalan lebih cepat dari yang dipikirkan kaum oposisi.
Pemerintah berhasil mendongkel kepemimpinan Megawati dengan menyelenggarakan Kongres. Perlawanan rakyat tidak perlu menunggu adanya pemilu curang. Saat itu juga simpatisan PDI melawan secara masif.
PRD adalah kelompok pertama yang menyatakan dukungan kepada Megawati. Bahkan lebih dulu dari waktu mendeklarasikan dirinya tanggal 22 Juli 1996. Paska peristiwa Gambir, tanggal 20 Juni, PRD mempelopori pembentukan MARI (Majelis Amanat Rakyat Indonesia). Berbagai kelompok oposisi terlibat seperti Masyumi Baru, Gerakan Rakyat Marhaen, SBSI dll. MARI program politiknya memberi dukungan politik kepada Megawati dari intervensi pemerintah. Begitu cepat, dan meletuslah peristiwa 27 Juli. Gerakan untuk sementara terinstrupsi. Mempersiapkan diri untuk lebih berotot dan kuat untuk menghadapi Rezim Orba.
Diculik BIA
Hari sudah beranjak malam. Lampu-lampu di dalam rumah sudah semua dinyalakan. Makan malam juga sudah usai. Bahkan piring, gelas, tempat sayur dan nasi sudah dibersihkan. Meja makan sudah rapi. Kegiatan beralih ke ruang tamu. Di sana ada televisi dan ruangannya lumayan luas. Kami semua menonton televisi. Apalagi ini Pukul 21.00 WIB, TVRI sedang menyiarkan Dunia Dalam Berita. Sebuah tontonan yang wajib kita nikmati.
Karena kami melihatnya dengan konsentrasi penuh, ruangan menjadi sunyi. Hanya terdengar suara pembaca berita. Suara dari luar mampu kami dengar.
Tiba-tiba terdengar suara pintu mobil ditutup. Aku mengira Romo Sandy yang datang. Tetapi suara pintu mobil ditutup susul menyusul. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Tidak mungkin Romo Sandy. Dia datang kemari pasti dengan satu mobil. Tetangga sebelah akan curiga jika datang dengan banyak mobil. Terdengar suara beberapa laki-laki. Walau tak jelas apa yang mereka ucapkan, tetapi arahnya menuju ke rumah Pak Beny. Kami saling pandang. Tanpa ada komando kami semua bergegas masuk ke kamar. Jantung ku berdetak begitu cepat . Sangat tegang sekali.
Tanpa suara, kami semua terdiam dan tegang. Saling memandang, dan muka kami memancarkan kecemasan. Kuambil kertas notulensi rapat terakhir. Kusobek-sobek kertas itu kecil-kecil dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Kertas itu berisi catatan rapat yang terakhir, dan belum sempat kami musnahkan. Kalau tertangkap mereka akan membahayakan orang-orang tertera di kertas itu.
Suara ketukan pintu yang kasar membuat jantungku seakan berhenti. Membuat kami semua tambah tak berani mengeluarkan suara. Kami duduk dilantai saling berhimpitan. Bagiku, ini adalah suasana yang paling menegangkan yang pernah kualami.
"Mana Budiman," teriak salah seorang dari mereka.
"Tidak ada Pak," jawab Pak Beny dengan terbata-bata.
Aku yakin dia sangat ketakutan. Antara melindungi kami dan takut menghadapi orang-orang yang bersikap kasar kepadanya.
"Siapa yang di dalam kamar ?," bentak mereka kembali.
"Anak saya Pak," jawab pak Beny dengan nada semakin ketakutan.
"Kalau tidak segera dibuka pintunya saya tembak," teriak beberapa orang dari mereka.
Teriakan mereka mau menembak pintu kamar membuat kami semua semakin kuatir. Pintu dibuka dengan paksa, terlihat beberapa orang membawa pistol masuk ke kamar dengan begitu cepat. "Mana yang namanya Budiman?," bentak satu orang mungkin pemimpin rombongan itu.
Budiman berdiri dengan keraguan. Ia hanya memakai celana panjang hitam dan bertelanjang dada. Pistol itu dengan cepat menempel di kepala Budiman. Diringkusnya tangan Budiman, dan begitu cepatnya borgol itu mengikat tangannya.
Kucoba menenangkan diri, sambil sebisa mungkin terus menyobek kertas. Dalam hatiku seberapa pun tersebok tetap akan berguna. Yang masuk kamar semakin banyak. Bentakan-bentakan kasar keluar dari mulut mereka. Kami bertiga segera diringkus oleh mereka. Kami tidak tahu siapa mereka. Ketika meringkus tanganku, kurasakan tenaga mereka sangat kuat.
Mereka membawa kami dengan kasarnya. Tak ada kesempatan kami berganti pakaian. Aku hanya memakai kaos dan celana pendek. Sesampai di ruang tengah aku melihat Ken Budha Kusuma Ndaru. Tangannya diborgol didepan. Wajahnya terlihat kusut dan matanya bengap-bengap. Mungkin dia mengalami siksaan yang teramat berat. Kepalanya tertuduk ke bawah.
"Kamu juga ikut," bentak yang lain kepada Pak Beny.
Terdengar jeritan dan tangisan istri dan anak Pak Beny. Aku tak kuasa melihat situasi ini. Sungguh kekuatiranku terbukti. Mereka melakukannya dengan kasar sekali. Keluarga Pak Beny pasti trauma.
"Petrus, Petrus akhirnya kau tertangkap," ujar salah satu dari mereka ketika sudah masuk ke mobil. Selain diborgol, mereka menempelkan pistol di perutku. Ada 7 orang di dalam mobil itu.
"Jangan punya pikiran kamu akan melarikan diri atau loncat dari mobil. Kami tak segan akan menembak anda," bentak yang lainnya.
Cara mereka menodongkan pistol di perutku membuat aku teringat kejadian bulan Desember 1995. Saat itu, Polres Jakarta Selatan menangkap kami karena Aksi Lompat Pagar Di Kedubes Belanda. Setelah aku bebas, aku berobat ke klinik milik dr. Ribka Tjiptaning di Ciledug. Ketika beristirahat aku didatangi aparat, entah dari kesatuan apa?. Dia menodongkan pistol di kepalaku. Diseretnya aku keluar dari klinik.
Sepanjang pasar aku digelandang. Orang-orang menyaksikan adegan yang menakutkan ini. Mereka melihatku, seakan mereka melihat penjahat ditangkap polisi. Dan ketika dimasukan ke dalam mobil, selama perjalanan aparat menodongkan pistolnya di perutku.
Aku menghentikan lamunan. Aku baru menyadari mobil berjalan secara terpisah. Aku tidak lagi melihat mobil yang membawa Budiman, Roso, Iwan, Ndaru, dan Pak Beny. Dalam mobil mereka menasehati aku. Tapi tidak kuperhatikan ocehan mereka. Diriku resah memikirkan nasif Pak Beny. Tidak seharusnya dia menanggung semua ini. Bahkan aparat berperilaku lebih kasar kepada Pak Beny. Kalau tidak dibego-begoin, Pak Beny sering dibentak-bentak tanpa alasan yang jelas.
Selain memikirkan Pak Beny, aku juga berkonsentrasi melihat rute jalan yang dilalui. Setelah sampai kantor Hariam Republika mobil itu belok ke kanan. Daerah itu namanya Pejaten.Hanya 300 meter mobil itu belok ke kiri. Jalannya sedikit menanjak, dan hanya 200 meter kemudian berhenti. Tertera papan pintu gerbang bertulis Wisma Soedirman. Ketika masuk ke dalam ternyata sebuah komplek perumahan yang luas. Ada lapangan luas yang dikelilingi rumah-rumah yang saling terpisah. Sungguh berbeda dengan penampakan dari luar, yang hanya terlihat rumah yang memiliki pintu gerbang. Aku yakin ini sebuah tempat rahasia. Dibawanya kami ke sebuah ruang besar mirip aula.
"Di sini hukum tidak berlaku. Kalian harus menjawab semua pertanyaan kami," ujar salah satu dari mereka.
Kertas catatan rapat masih tersisa setengah lembar. Tidak mungkin aku menyobek kecil-kecil karena pasti ketahuan. Secara spontan aku makan dan akhirnya kutelan.
Kami duduk jaraknya terpisah-pisah. Mereka sengaja melakukan ini agar tidak saling berkoordinasi.
Tak lama kemudian mereka membawa kami keluar. Masing-masing dari kami dibawa beberapa orang. Bahkan didampingi Marinir dan Brimob yang membawa senapan otomatis. Aku tidak tahu jenisnya, apa AKA 47 atau M16 ? Dan aku dibawa ke sebuah rumah. Ternyata sebuah ruang intrograsi.
"Disini tidak ada pengacara. Jawab saja kalau ingin keluar selamat," bentak introgator senior itu. Rupanya dia pernah mengintrograsi aku di Polres Jakarta Selatan. Saat itu aku tertangkap karena melakukan aksi lompar pagar ke Kedubes Belanda di Rasuna Said. Ternyata dia bukan polisi. Lantas aku ditangkap siapa? Wah kalau begitu ini penculikan. Aku menduga ini sebuah tempat rahasia. Dan aku menyakini mereka adalah anggota Badan Intelejen ABRI (BIA). Sepak terjang mereka sudah terkenal reputasinya. Dalam beberapa kasus subversi mereka melakukan penyiksaan. Tetapi aku dan Budiman sempat bercakap-cakap tadi. Kami menyakini kita tidak akan disiksa.
Soeharto Posisinya semakin terjepit dan pemerintah asing mengawasi pelanggaran HAM yang dilakukannya. Hal ini yang membuatku lumayan lega.
Malam itu juga kami diintrogasi. Bentakan dan kata-kata bego, tolol sering meluncur dari mulut mereka. Bahkan tak segan-segan mereka mengeluarkan senjata pistol untuk mengancam aku. Mengancam keluargaku akan menangung akibat kalau aku tidak kooperatif. Mereka juga mengancam kalau orang tua pacarku marah. Beliau akan menembak kepalaku karena telah membuat susah keluarga pacarku. Ayah keluarga pacarku anggota Kodim di Pati. Intrograsi mulai Pukul 10.00 WIB, berakhir pukul 24.00 hari berikutnya. Total 26 jam aku diintrogasi tanpa jeda istirahat. Mereka memaksa aku tetap terjaga dengan memberi aku minuman kratindeng dan kopi bergelas-gelas. Bahkan mereka menyediakan rokok satu bos. Sudah berpak-pak rokok yang aku hisap agar tidak tegang. Dua asbak tak cukup menampung putung rokok dariku. Satu jam rasanya sehari. Jarum jam rasanya malas beranjak. Jantung selalu berdebar karena intrograsinya menyangkut rahasia organisasi. Target mereka adalah mencari informasi berkaitan dengan keberadaan kawan-kawan yang lain. Dan itu bagiku menegangkan. Aku sekuat tenaga berkelit dari bombardir pertanyaan mereka Pukul 24.00, WIB, tanggal 12 Agustus 1996, aku dibawa keluar dari ruang intrograsi dengan pengawalan pasukan Marinir bersenjata otomatis. Ternyata dibawa ke sebuah sel. Ada tiga ruang sel. Setelah aku tiba di sana, menyusul Budiman, dan Garda. Yang lain tidak tahu dibawa kemana. Saat itu aku baru tahu Garda juga tertangkap.
Beruntung ada kasur walau aku yakin banyak binatang kecil di kasur itu. Dindingnya sangat kumuh karena banyak ditempeli nanah kering. Banyak Kecoa berkeliaran di selku. Bau kencing kecoa tercium menyengat.
Tak ada waktu ngobrol dengan mereka berdua. Tubuh dan pikiran begitu letih. Rasa ngantuk ini mungkin terberat yang pernah kualami. Baru saja tubuhku merebah di kasur, aku langsung tertidur. Dan hari-hari selanjutnya, mereka terus mengintrogasi kami. Kelak kami mengetahui kalau tempat itu adalah markas BIA.
*Artikel diambil dari akun Facebook penulis, Peter Hari
Penulis Petrus H. Hariyanto, mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik
(PRD)
Heddot/Red
إرسال تعليق