Stunting sebagai Problem Kebudayaan
ANEKAFAKTA.COM,Jakarta||
SAMPAI saat ini, stunting masih menjadi problem mendasar bagi bangsa Indonesia. Berdasar data yang dirilis Kementerian Kesehatan, pada 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih berada pada angka 24 persen.
Artinya, pada setiap empat kelahiran bayi, satu bayi menderita stunting. Angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar World Health Organisation (WHO), yaitu 20 persen.
Pemerintah beserta masyarakat harus bekerja keras untuk menekan angka stunting. Hal tersebut penting demi menyiapkan generasi emas untuk tahun 2045, dan yang paling penting adalah demi menciptakan manusia Indonesia yang unggul pada masa yang akan datang.
Upaya menekan stunting terus dilakukan. Presiden secara resmi telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres tersebut telah menggariskan bahwa pada 2024 prevalensi stunting di Indonesia harus sudah berada pada kisaran 14 persen.
Hal tersebut tentu saja menuntut kerja keras semua pihak. Aksi nasional saat ini tengah dilakukan dengan melibatkan semua kementerian, pemerintah daerah mulai provinsi sampai ke tingkat desa, serta berbagai pemangku kepentingan.
Hampir semua pemangku kepentingan sepakat bahwa stunting adalah problem kesehatan sehingga upaya untuk mengurangi juga dilakukan dengan intervensi dalam sektor kesehatan. Intervensi tersebut secara khusus mengerucut pada aspek kegizian.
Menteri kesehatan dalam sebuah kesempatan menekankan bahwa intervensi untuk menurunkan stunting difokuskan pada calon ibu, ibu hamil, serta anak yang baru lahir sampai usia emas. Mereka adalah sosok paling penting untuk menurunkan prevalensi stunting.
Makanan bergizi menjadi kunci berikutnya untuk penurunan stunting karena makanan itulah yang menjadi penentu pertumbuhan manusia. Tidak semua orang memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih dan menentukan makanan yang dibutuhkan tubuh.
Banyak orang memilih jenis makanan bukan didasarkan pengetahuan mereka mengenai makanan yang baik atau kurang baik, tetapi lebih didasarkan kebiasaan yang didapat secara turun-temurun. Dalam konteks itu, kebudayaan memiliki peran yang sangat penting.
Kebudayaan bisa dipahami sebagai pikiran dan tindakan atau perilaku yang terduplikasi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Makan adalah tindakan yang dialami manusia saat pertama lahir. Sejak itu, makan menjadi sebuah kebiasaan yang tidak sederhana. Upaya untuk mendapatkan bahan makanan, mengolah, sampai memakannya menjadi sebuah rantai yang panjang dan rumit yang melibatkan banyak pihak.
Sebagian besar pengetahuan mengenai makanan didapatkan dari generasi sebelumnya secara turun-temurun. Mengenai sumber makanan, terdapat daerah yang hanya bisa ditumbuhi tanaman bahan makanan dengan kandungan gizi yang tidak lengkap.
Daerah-daerah tandus hanya bisa ditanami singkong dan jagung. Padi tidak bisa tumbuh, tanamana sayur-sayuran dan buah-buahan tumbuh, tapi amat terbatas. Petani miskin yang hanya menanam singkong atau jagung saja tentu saja kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan lain yang memiliki standar gizi yang baik.
Hal yang sama terjadi pada penduduk miskin di perkotaan yang perolehan bahan makanannya terbatas. Orang-orang dengan kondisi semacam itu biasanya pasrah dengan keadaan dan kebiasaan yang mereka jalani selama bertahun-tahun.
Hal lain adalah terkait dengan kepercayaan sebagian masyarakat terhadap makanan. Banyak orang masih percaya dengan kepercayaan lama atau mitos yang berkaitan dengan makanan.
Bahkan, sebagian besar mitos tersebut dikaitkan dengan wanita hamil dan bayi yang baru lahir. Di hampir semua daerah di Indonesia terdapat kepercayaan yang berkembang terkait dengan makanan untuk wanita hamil dan bayi yang baru lahir.
Kehamilan di mana pun selalu diposisikan istimewa, terutama bagi mereka yang menjalani proses kehamilan secara wajar dan merupakan kehamilan yang diharapkan. Saking istimewanya posisi wanita hamil, segala hal diperhatikan, bahkan perhatian tersebut sering kali melampaui nalar manusia dan melahirkan berbagai kepercayaan tanpa dilandasi sikap ilmiah.
Masa kehamilan dan persalinan menjadi fokus perhatian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, harus dilindungi secara adat, religi, dan moral dengan tujuan menjaga ibu dan bayi.
Sayangnya, banyak kepercayaan yang berkembang di masyarakat justru dampaknya berkebalikan untuk kesehatan dan keselamatan mereka, terutama kepercayaan terkait makanan. Banyak orang masih memercayai bahwa ketika wanita hamil, makanan-makanan dari luat akan menyebabkan bayinya kelak akan berbau amis.
Makan buah tertentu juga dipercaya bisa menyebabkan keguguran. Kepercayaan atau mitos semacam itu justru merugikan wanita hamil beserta bayi yang dikandungnya karena akan kekurangan asupan gizi.
Mitos semacam itu tidak hanya dipercaya secara individu, tetapi sudah merupakan kepercayaan yang menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat. Ia merupakan bagian dari kebudayaan yang berkembang dan terwariskan secara lintas generasi.
Celakanya, mitos mengenai makanan tidak hanya yang terwariskan dari zaman dulu saja, tetapi pada setiap periode juga lahir mitos baru yang lahir secara spontan. Lahirnya mitos baru biasanya akibat dari persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dirasakan atau dilihat tanpa dikonfirmasi kebenarannya.
Persepsi yang semula lahir dari individu akhirnya tersebar dan menjadi kepercayaan komunitas. Rendahnya budaya literasi menjadi salah satu penyebab lahirnya mitos-mitos baru yang penyebarannya setara dengan penyebaran berita bohong (hoax).
Jika masalah pemenuhan gizi diposisikan sebagai bagian dari kebudayaan, upaya untuk mencukupinya juga harus dengan jalan kebudayaan. Masyarakat harus diberi bekal kepercayaan yang berbasis pada pengetahuan ilmiah bahwa makanan bergizi adalah sebuah kebutuhan mutlak, terutama bagi wanita hamil dan bayi yang baru lahir.
Bagi masyarakat yang masih berpegang kuat pada kepercayaan lama atau pada mitos-mitos, upaya yang harus dilakukan adalah merancang sebuah strategi baru yang diperuntukkan pada mereka. Strategi baru tersebut dalam lingkup ilmu budaya disebut sebagai strategi kebudayaan.
Yaitu, upaya manusia untuk merancang jalan baru untuk masa depan mereka beserta seluruh komunitas pendukungnya. Strategi kebudayaan mutlak dilakukan jika bangsa Indonesia ingin menurunkan prevalensi stunting.
Reva/Red
إرسال تعليق