VISI BEBRAYAN MANGKUNEGARAN

VISI BEBRAYAN MANGKUNEGARAN
 
 
Oleh :Eko Sulistyo

Jakarta, -anekafakta.com
Pura Mangkunegaran pada Sabtu, 11 Desember 2022, megah dan anggun di tengah gelaran tasyakuran pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang-Erina.  Ribuan undangan dari berbagai kalangan hadir memberi selamat kepada kedua mempelai.

Sebelumnya, ribuan warga Solo dan sekitarnya, berjejer di sepanjang Jl. Slamet Riyadi, Kota Solo, dari Loji Gandrung hingga depan pintu Mangkunegaran.  

Mereka menyaksikan kedua mempelai yang menaiki kereta berkuda. Resepsi tasyakuran Kaesang-Erina, seperti meneguhkan kembali jati diri Pura Mangkunegaran, dengan tampilan aset budaya yang dimilikinya.

Setelah direnovasi, Pura Mangkunegaran tampak grande dan elegan dengan warna khas Mangkunegaran, parianom atau hijau-kuning. Keberadaan Taman Pracima atau Pracima Tuin, di sudut barat belakang pendopo, bak Victorian House, dengan perpaduan arsitektural Jawa dan Eropa.  Ini menjadi destinasi wisata baru di Kota Solo.


Sejak lama, para pemimpin Praja Mangkunegaran dikenal berpikiran maju, memadukan konsep Barat (modern) dan Timur dalam pemikiran, budaya dan inovasi. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkunegara VI (1896-1916), visioner dan menjadi dinamo penggerak Praja Mangkunegaran.  

Ia juga jago menata perekonomian Mangkunegaran. Ia tidak alergi mempekerjakan para profesionalisme berkebangsaan Belanda untuk membantunya mengoperasikan unit usaha yang dimiliki Mangkunegaran.  

Tradisi haus pengetahuan dan relasinya dengan kaum Eropa, dilanjutkan penerusnya K.G.P.A.A. Mangkunegara VII (1916-1944).  Ia sempat mengenyam pendidikan tinggi atau kuliah di Belanda. Inovasinya yang dikenang bangsa Indonesia adalah pendirian Solo Radio Vereeniging (SRV).

SRV adalah radio pertama yang didirikan bumiputera pada 1 April 1933. Untuk mengenang jasanya, melaui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2019, pemerintah menetapkan 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional.

Satu lagi visi penting Mangkunegara VII yang tidak banyak diketahui publik adalah pendirian pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Kali Samin pada 1930-an. PLTA di Tawangmangu ini diresmikan istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Timur,  dan sempat beroperasi selama dua tahun.  Pemerintah Belanda menghentikannya, khawatir penguasaan teknologi kelistrikan di tangan pribumi dapat membahayakan eksistensi ekonomi-politik kolonial.

*Mangkunegaran dan Listrik*

PLTA Kali Samin bercerita tentang kemodernan dan kebangsaan Pura Mangkunegaran. Pembangunan PLTA ini merupakan respons atas kehadiran teknologi di negeri kolonial yang akan membawa dampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, serta emansipasi politik dan ideologi bumiputera.  

Visinya pendirian PLTA Kali Samin itu melampaui zamannya, memandang teknologi sebagai jalan kemajuan untuk memajukan bangsanya. Bagi Mangkunegaran, kehadiran listrik di Kota Solo adalah penanda kemodernan, sekaligus menggerakkan ekonomi. Listrik hadir di Solo pada 1901, setelah Batavia (Jakarta) dialiri listrik pada 1897.  

Bersama Sunan Pakubuwono X (1893-1939), Mangkunegara VI tercatat sebagai pemrakarsa pabrik listrik pertama di Solo, Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM). Lampu gantung lilin di Pendopo Agung Mangkunegaran, yang menerangi mempelai Kaesang-Erina dan tamu undangan, adalah salah satu peninggalan kelistrikan era SEM.  

Lampu itu pada 1930-an dipesan langsung pihak Mangkunegaran dari perusahaan bohlam Phipips, di Eindhoven, Belanda.  Ornamen ukiran pada penyangga lampunya, jelas menunjukkan gaya eropa. Instalasi dan perawatan listrik di Pura Mangkunegaran dan rumah-rumas pejabat tingginya dikerjakan langsung pihak SEM.

Sebelum dialiri listrik, penerangan di Mangkunegaran menggunakan gas. Mangkunegaran sangat berkepentingan dengan listrik.  Selain untuk menggerakkan ekonomi perkebunan dan pabrik-pabrik gula, kehadiran listrik untuk penerangan jalan di perkampungan di wilayah Mangkunegaran.

Kedigdayaan listrik di Mangkunegaran pada era kolonial masih bisa disaksikan dari arsip foto di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran maupun di Perpustakaan Universitas Leiden (KITLV).

Gapura Mangkunegaran diterangi listrik pada 1937, dan permainan lampu-lampu yang memvisualkan dua prajurit Legiun Mangkunegaran pada 1928, adalah beberapa dokumen yang menggambarkan kehadiran listrik telah mewarnai berbagai aktifitas di Mangkunegaran pada malam hari.

*Hiburan dan Hajatan*

Di luar daerah inti Mangkunegaran, penerangan lampu listrik merambah bagian pusat Kota Solo yang identik dengan keramaian pasar, benteng militer Vasternberg, dan kantor-kantor pemerintahan.  

Kehadiran listrik di Solo sebetulnya merupakan fasilitas kota bagi kalangan Eropa (Belanda) yang telah tumbuh sebelumnya, seperti bank, gedung pertemuan, kantor pemerintahan, gereja, apotek dan toko.

Dukungan penguasa lokal dari Mangkunegaran dan Kasunanan, mendorong kehadiran listrik di Solo dengan cepat merambah ke wilayah pelosok.  Listrik menjadikan “Solo benderang pada malam hari.”  Idiom kota Solo yang tidak pernah tidur, sedikit banyak berhubungan dengan kehadiran listrik.  

Listrik juga menggairahkan dunia hiburan di ruang publik perkotaan. Taman Sriwedari menjadi tempat favorit warga Solo dan sekitarnya menonton wayang orang dan berbagai pertunjukan, sambil mimum limoen dan menikmati aneka kuliner Solo. Listrik juga mendorong tumbuhnya keramaian dan budaya perkotaan, budaya lembur dan fenomena angkringan.  

Teknologi radio dan trem sangat bergantung dengan aliran listrik.  Kehadiran bioskop juga menjadi budaya baru bagi masyarakat kota saat itu.  Di Kota Solo, pertunjukan gambar hidup ini sudah ada sejak 1914.  Bioskop mampu menyedot kalangan berduit dari daerah sekitar Kota Solo untuk menonton.

Listrik juga membuka pemahaman baru dan mampu menunjang acara adat yang dihelat keluarga bangsawan tampil lebih mewah.  Perayaan sunatan keluarga raja digelar meriah dengan penerangan lampu yang istimewa.  Begitu juga saat berlangsung acara pernikahan kelompok aristokrat, listrik berhasil menampilkan wajah mempelai pengantin Jawa yang disorot lampu saat resepsi pada malam hari.

Salah satu hajatan besar yang pernah diselenggarakan di Pura Mangkunegaran adalah resepsi pernikahan putri Mangkunegara VII, Raden Ajeng Partinah dengan Raden Mas Subroto Murdokusuma pada 1938. Hadir Gubernur Surakarta beserta istri, Gubernur Yogyakarta, dan Gubernur Jawa Timur van der Plas.  Dengan konsep standing party, tamu undangan tampak menggenakan kemeja Eropa dan Beskap Jawa sedang dijamu Gusti Kanjeng Ratu Timur, istri Mangkunegara VII.

Kini dibawah kepemimpinan generasi milineal K.G.P.A.A. Mangkunegara X, mengemuka harapan Mangkunegaran tidak hanya menarik wisatawan, tapi juga menjadi salah satu basis produksi pelestarian kebudayaan. Untuk itu, pengembalian konsep “bebrayan” dan digitalisasi kasanah budaya (Jawa) harus menjadi perhatian dengan dukungan pemerintah.
 
(Dwi Wahyudi/Red) 

Eko Sulistyo, adalah Komisaris PT PLN (Persero), penulis buku "Jejak Listrik di Tanah Raja, Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957."

Post a Comment

أحدث أقدم