MENELITI BUBARNYA KEMENRISTEK Oleh: Dr.Usmar.SE.,MM
Berdasar Surat Presiden (Surpres) dengan Nomor R-14/Pres/03/2021 kepada DPR RI, tentang pertimbangan pengubahan kementerian, yang kemudian ditindak lanjuti oleh DPR RI dalam rapat paripurna DPR RI pada tgl 9 April 2021 sepakat menyetujui isi surat presiden tersebut.
Dengan demikian secara prinsip terbentuknya kementerian baru yaitu Kementerian Investasi, dan kembali digabungnya Kemenristek kedalam Kemendikbud, maka berakhir sudah keberadaan Kemenristek di era Pemerintahan Presiden Jokowi di periode ke dua ini.
Adapun pembahasan dalam tulisan ini, hanya menyoroti tentang kembali digabungkannya Kemenristek ke dalam Kemendikbud.
Sekedar untuk merefresh ingatan kita, bahwa sebelumnya di awal pemerintahan Presiden Jokowi tahun 2014 sempat dilakukan perubahan dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan memindahan Ditjen Pendidikan Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Adapun pertimbangannya, pemisahan antara pendidikan dasar dan tinggi pada saat itu untuk menunjukkan bahwa pemerintah fokus terhadap dunia pendidikan, dan pemisahan yang dilakukan dengan tujuan dan harapan agar mampu meningkatkan pemerataan sumber daya manusia, di seluruh pelosok negeri, tidak hanya di kota besar saja.
Namun selanjutnya ada keputusan penggabungan kembali, yang di awali, dengan dikembalikanya DIKTI ke Kemendikbud pada bulan Desember 2019 melalui Perpres No.82 Tahun 2019 yang merevisi Perpres No.72 Tahun 2019 yang dikeluarkan pada Oktober 2019.
Dan pada pengubahan terbaru yag telah mendapat persetujuan DPR RI pada tanggal 9 April 2021 lalu, adalah mengembalikan persoalan RISTEK ke dalam Kemendikbud.
Dalam dinamika menjalankan pemerintahan, pembentukan, perubahan, dan bahkan pembubaran sebuah kementerian/organisasi adalah suatu keniscayaan.
Namun terhadap pergantian dan pengubahan Kementerian tersebut, tentu akan menjadi diskursus yang multi tafsir, tergantung bagaimana tindakan pemerintah dalam merespon perubahan itu.
Munculnya beragam pertanyaan wajar di masyarakat tentang kelanjutan terhadap penggabungan dikembalikanya Ristek kedalam Kemendikbud, apakah di akibatkan tak terpenuhinya harapan pemerataan Kualitas SDM di seluruh pelosok negeri seperti alasan dan pertimbangan awal pemisahan di tahun 2014 ?
Ataukah memang ada pertimbangan lain yang merespon peubahan zaman ? Dan pertanyaan selanjutnya bagaimanakah keberadaan BRIN setelah ada penggabungan ini ?
*KEWAJIBAN DI PERGURUAN TINGGI*
Memang dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, bahwa perguruan tinggi itu memiliki tiga peran yang diatur dalam Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, pengabdian kepada masyarakat, serta penelitian dan pengembangan.
Merujuk kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi yang melekat pada perguruan tinggi, tentu secara tupoksi, dikembalikannya Ristek kedalam Kemendikbud, sudah tepat. Tetapi kalau hanya berhenti sekedar mencocokan tupoksi tersebut, tanpa melakukan perubahan yang mendasar dari semangat Ristek itu sendiri, hanyalah sebuah gerakan tari poco-poco saja, yang memang bergerak tapi tak beranjak.
Kita semua mungkin mengetahui, bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi yang harus dilakukan oleh seorang Dosen di perguruan tinggi, adalah sebuah kerja yang luar biasa jika dibandingkan dengan lembaga di luar Perguruan Tinggi.
Di lembaga Lain, masing-masing peran tersebut menjadi kewajiban yang tak tunggal melekat pada personelnya.
Ada Lembaga yang memang bergerak di bidang Pendidikan dan Pengajaran, dan itu dilakukan oleh seorang guru / Mentor/ Pelatih. Ada Lembaga yang bergerak di bidang jasa Riset dan Penelitian, yang dilakukan oleh para penelitinya. Dan ada Lembaga yang bergerak dibidang Pengabdian pada Masyarakat, yang dilakukan personelnya yang memang mengetahui tupoksi organisasinya adalah pelayanan filantropi.
Seorang Dosen di Perguruan Tinggi dengan ketentuan Tri Dharma yang melekat pada dirinya memang membutuhkan semangat lebih dan kemampuan multi talent.
Karena selain menghadapi kewajiban Tridharma tersebut, juga berhadapan dengan regulasi yang menyibukkan dengan urusan-urusan administrasi, yang dipadu dengan pendekatan ancaman remunerasi yang bakal diterima, dengan prosedur persyaratan berlapis dan rumit saat hendak mengurus kenaikan jabatan fungsional, adalah juga tantangan yang harus mampu di atasi seorang Dosen.
*TINDAKKAN SETELAH PENGGABUNGAN KEMENTERIAN*
Jika kita melihat dan belajar dari pengalaman lalu, penggabungan atau pemisahan kementerian selalu memiliki masalah restrukturisasi dan konsolidasi. Contohnya, saat DIKTI dipindahkan ke Kemenristek yang kemudian menjadi Kemenristekdikti, butuh waktu sekitar setahun untuk melakukan penataan organisasi, pembentukan nomenklatur baru untuk eselonya yang menggambarkan tupoksi, dan target program prioritas kementerian perpaduan ristek dan pendidikan tinggi, begitu juga dari sisi anggaran maupun personelnya.
Nah jika melihat Periode kedua Presiden Jokowi ini, yang akan berakhir tahun 2024, tentu secara efektif waktu kerja kabinet hanya tinggal sekitar 2 tahun lagi. Karena itu menuntaskan akibat dari pengubahan ini, kerja cepat dan tepat adalah suatu keharusan, agar tidak terjebak pada tindakan perubahan yang tidak ber-ubah.
*PERSOALAN RISTEK*
Menurut Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang P.S Brodjonegoro, ada 5 isu strategis pengembangn Iptek dan inovasi yang kita hadapi saat ini, yaitu :
1. Pemanfaatan Iptek sebagai penghela pertumbuhan ekonomi yang bekelanjutan, dimana pemerintah telah membuat target pertumbuhan ekonomi pada range 5,4 hingga 6 persen per tahun.
2. Peningkatan efektivitas pemanfaatan dana Iptek dan inovasi. Dimana saat ini pendanaan bank pemerintah di Indonesia masih di kisaran 0,25 persen dari PDB. Lalu 84 persen di antaranya berasal dari anggaran pemerintah, dan hanya 8 persen yang berasal dari industri. Dan juga anggaran pemerintah ini tersebar pada berbagai unit Litbang, kementerian dan lembaga. Sehingga memungkinkan terjadinya duplikasi dan in-efesiensi.
3. Rendahnya kapasitas adopsi Iptek dan cipta inovasi di Indonesia. Dimana pada tahun 2019 Indonesia saat masih berada di peringkat ke 85 dari 129 negara dengan score Global Innovation Index 29,72 dari skala 0 sampai 100. hal ini disebabkan oleh masih rendahnya belanja litbang terhadap PDB, rendahnya jumlah paten, serta rendahnya publikasi sains dan teknik di tingkat global. Selain itu, infrasturuktur Litbang masih terbatas, jumah SDM di bidang Iptek hanya sekitar 14,08 persen, di antaranya yang berkualifikasi doktor atau S3.
4. Persoalan ekosistem inovasi yang belum sepenuhnya tercipta. Kondisi demikian membuat proses hilirisasi dan komersialisasi hasil Litbang masih terhambat. Ditambah kolaborasi triple helix antara pemerintah, dunia penelitian dan dunia usaha, belum didukung atas lembaga Litbang dan perguruan tinggi yang memadai sebagai sumber inovasi teknologi.
5. Dalam konteks transformasi ekonomi, kemenristek/BRIN akan fokus Litbang dan hilirisasi yang menghasilkan teknologi tepat guna, subtitusi impor, sekaligus peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), peningkatan nilai tambah, dan penguasaan teknologi baru. Untuk itu Kemenristek/BRIN akan mendorong implementasi program riset nasional dan memastikan setiap aktor riset dan inovasi memahami apa yang harus menjadi fokus dan apa yang harus dikerjakan.
Apakah dengan digabungkannya Ristek ke dalam Kemendikbud, kelima isu sentral yang strategis ini akan dijalankan dan di tuntaskan oleh Kemendikbud ? ataukah akan mencari kesibukan baru lagi dan membiarkan kelima isu strategis ini berhenti sebagai wacana dan diskursus semata ?
Disisi lain kita juga mengetahui bahwa Kemenristek/BRIN untuk tahun anggaran 2021, memberikan Dana Penelitian untuk 12 Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) sebesar Rp400 Miliar.
Yaitu :
- Universitas Indonesia Rp 45,9 miliar,
- Universitas Gadjah Mada Rp 40,7 miliar,
- Institut Teknologi Bandung Rp 40,4 miliar,
- Universitas Airlangga Rp 39,2 miliar,
- Universitas Diponegoro Rp 38,9 miliar,
- Institut Pertanian Bogor Rp 33,4 miliar,
- Universitas Padjadjaran Rp 32,5 miliar,
- Universitas Sumatera Utara Rp 30,6 miliar,
- Universitas Hasanuddin Rp 30,0 miliar,
- Institut Teknologi Sepuluh Nopember Rp 28,8 miliar,
- Universitas Pendidikan Indonesia Rp 24,3 miliar, dan
- Universitas Sebelas Maret sebesar Rp 15,3 miliar.
*BAGAIMANA NASIB BRIN ?*
Masih segar dalam ingatan kita tentunya, dalam Rakornas Kemenristek/BRIN 2020, Presiden Jokowi mengatakan bahwa:
BRIN sebagai Konsolidator kegiatan riset dan inovasi perlu fokus dalam pengembangan prioritas riset yang strategis, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjawab permasalahan bangsa serta memanfaatkan peluang global bagi kemajuan negara indonesia.
Selanjutnya Presiden mengatakan bahwa: "BRIN perlu mendeteksi dan mengidentifikasi topik-topik riset yang strategis dan inovatif, sesuai dengan kebutuhan bangsa. Birokrat-birokrat harus turun mengidentifikasi masalah-masalah yang ada dari hulu sampai hilir dan menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang ada lewat riset dan inovasi. BRIN harus menjadi badan intelijen inovasi bangsa."
Merujuk dari apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di atas, kita jadi tahu betapa penting dan strategisnya keberadaan BRIN untuk kemajuan bangsa.
Namun dengan di likuidasinya Kemenristek masuk ke dalam Kepmendikbud, bagaimanakah keberadaan BRIN selanjutnya ? karena belum ada penjelasan detail dari pemerintah tentang BRIN tersebut kedepan.
Inilah beberapa hal-hal dan persoalan strategis yang perlu menjadi perhatian bersama masyarakat agar jangan sampai terjadi peristiwa pengubahan dan penggabungan sekedar dibaca ada semangat untuk melakukan perubahan dibidang Ristek, tetapi sejatinya hanya berlindung dibalik proses hingga jelang ujung berakhirnya era Pemerintahan ini.
Penulis: Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta / Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional
Red/anekafakta.com
إرسال تعليق