FIGUR PUBLIK, CAWATNYA PUN DISOROTI
Oleh:
Suryadi
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan/
Alumni Ilmu Politik Pascasarjana Unas, Jakarta
Menjadi semacam syarat utama untuk figur publik adalah
lapang dada dan berjiwa besar dan harus
mau tunduk pada kesepakatan publik.
"Baperan" alias "tipis telinga" bukan ciri figur publik.
TAK terbayangkan lelahnya jika Bung Karno, Nixon, Bil Clinton, Gus Dur, Jokowi, Bang Yos (Sutiyoso), Ganjar Pranowo, atau Bima Arya Soegiarto "baperan".
Pada zamannya masing-masing tokoh tersebut, setiap hari diliputi rasa kesal dan marah-marah terus. Lebih daripada itu, cape bolak-balik mengadu ke polisi hanya lantaran merasa difitnah atau telah mendapat perlakukan tidak menyenangkan.
Semua itu cuma berawal dari sorotan publik, yang mungkin menurutnya tidak proporsional. Artinya, sorotan itu boleh jadi benar atau setidaknya belum tentu kebenarannya. Boleh jadi berupa stigma.
Akan tetapi, justru sorotan atau stigma itu pantas membuatnya sebagai figur publik "teringatkan" ketika akan membuat dan menggulir kebijakan-kebijakan yang dapat dipastikan menyangkut kehidupan orang banyak.
Di luar sorotan-sorotan publik lainnya, salah satu yang sangat menghebohkan bagi Bill Clinton, misalnya, adalah ketika media ramai-ramai menyoroti kehidupan pribadinya dengan Monica Lewinsky. Cewek yang jauh lebih muda daripada Bill ini adalah seorang staf honorer di Gedung Putih.
Publik pun terlibat ramai-ramai memperbincangan kehidupan privasi Presiden ke-42 AS itu. Tapi, apakah pemilik nama lengkap William Jefferson Clinton itu marah-marah atau langsung memperkarakan pers atau orang-orang yang menyorotinya, ke polisi?
Presiden ke-4 RI, Gus Dur pernah menjadi sorotan utama bahkan menjadi cover majalah terkemuka dalam kasus pribadinya. Mengadukah ia ke polisi?!
Bahkan, Jokowi pernah dihantam isu yang "paling mengerikan dan alergis" di Republik ini. Jelang Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, tuduhan secara diam-diam, terbuka di medsos, bahkan terang-terangan dilontarkan oleh sejumlah tokoh, bahwa ia PKI atau keturunan PKI (Catatan: PKI itu organisasi, komunis itu ideologi, bukan manusia).
Secara hukum ia bisa saja menempuh jalur hukum. Tapi, ia hanya sekali-dua kali merespons secara publik, "Umur saya berapa waktu tahun 1965?".
Bahkan, sejak Februari 2020 pandemi virus Covid19 menyerbu, Jokowi juga diterpa macam-macam isu terkait kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan tidak populer. Bahkan, ketika vaksin diproduksi dan harus melalui uji-coba untuk bisa digunakan, publik meminta ia yang lebih dulu menjadi kelinci percobaan penggunaan vaksin.
Toh Jokowi tidak sangat serius melayani persoalan sangat serius pula untuk menanggapi persoalan besar yang mengimbas kepada perekonomian negara itu.
Masih terkait Covid-19, sejumlah tokoh mengungkap sendiri keterpaparannya. Baik setelah publik melalui media memberitakan maupun mereka yang lebih dahulu menginformasikannya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi setelah pemberitaan dan berangsur membaik, justru dia sendiri tampil melalui media menyatakan bahwa dirinya telah terpapar Covid-19 dan ada dalam perawatan.
Bima Arya Soegiatro, anak muda yang dua kali meminpin Kota Bogor sebagai wali kota dua periode, juga melakukan hal serupa. Demikian pula dengan Wagub DKI asal Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria. Wali Kota Depok, Idris yang pernah bertemu dan berdekatan langsung dengna HRS, juga melakukan hal serupa.
Bahkan, dalam hal keterpaparan oleh Covid-19, justru mereka sadar dengan tampil di media untuk berbagi pengalaman. Tujuannya, mendorong masyarakat untuk tetap waspada terhadap virus yang sampai hari ini tak diketahui wujudnya.
Sebagai penyintas, dengan pengalamannya mereka mengambil kesempatan tampil di ruang publik (media) dengan misi mengedukasi. Inti edukasi dari para figur publik itu adalah:
"Tetap patuhi protokol kesehatan baik di ruang publik maupun
di rumah. Tingkatkan imunitas dengan memperbanyak makanan
bergizi. Terpenting, jangan cepat berkecil hati, tetap gembira, karena
hal itu akan sangat mendukung usaha-usaha meningkatkan
kekebalan tubuh."
SEOLAH MEMALUKAN
TERPAPAR Covid-19 dengan segala akibatnya, mulai dari sakit dan harus menjalani perawatan hingga meninggal dunia, hari-hari ini jumlahnya masih massif berfluktuasi. Demikian pula dengan di Indonesia yang secara geografis terdiri atas pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan nan luas.
Kondisi geografis itu dipersulit lagi oleh masih banyaknya lokasi-lokasi yang masih "remote" sehingga sulit dijangkau; perilaku manusianya yang cepat eforia manakala ada tanda-tanda serbuan covid-19 melandai, padahal "makhluk" penyebabnya tak bisa ditangkap oleh panca indera; obat penyembuhnya pun belum ditemukan, kecuali vaksin.
Begitu hebat dan masifnya serbuan Covid-19, sehingga ia digolongkan ke dalam pandemi. Ada satu kritisasi yang suka tidak-suka harus dilontarkan sebagai pil pahit, mungkin.
Telah ada semacam keterlanjuran menutup informasi keterpaparan bahkan kematian akibat Covid-19, sebagai suatu yang patut dirahasiakan. Hal ini terutama ketika sudah menyangkut "siapa yang terpapar atau siapa yang meninggal dunia akibat Covid-19".
Apalagi, terhadap mereka yang meninggal, pemakamannya pun dilakukan secara "sangat ekslusif" tanpa diimbangi informasi terbuka luas yang memadai, baik kepada publik maupun khususnya kepada keluarga almarhum.
Perlakukan semacam itu, harus diakui, pada batas-batas tertentu ada benarnya. Namun, kenyataan menjadi lain bagi orang-orang yang terbatas pengetahuan dan sudah selayaknya terus dihujani pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang apa itu Covid-19, Pandemi, dan bagaimana penjalarannya.
Keterlanjuran berahasia-rahasia tentang hal tersebut, patut diduga telah dengan sendirinya membentuk imej seolah-olah bahwa sakit atau meninggal akibat terpapar oleh Covid-19 adalah aib. Karena aib, ya harus ditutupi. Padahal, sudah menjadi fakta lama, aib suatu ketika pasti akan terbongkar juga.
Akan tetapi, jika figur publik berbuat seperti itu, bersikeras merahasiakan hasil pemeriksaan kesehatannya di tengah-tengah sorotan publik bahwa besar kemungkinan ia terpapar Covid-19, rasanya sangat tidak arif. Apalagi, sampai mempersoalkan bahwa kerahasiaan hasil pemeriksaan kesehatan seseorang dilindungi Undang Undang (UU).
Sebut saja HRS yang dengan sengaja memilih memeriksakan kesehatannya di sebuah rumah sakit di Kota Bogor -- jauh dari Ibu Kota Jakarta tempat ia sebagai figur publik dielu-elukan oleh "follower"-nya. Rumah sakit itu –kini rumah sakit sudah menjadi semacam entitas bisnis—harus berterima kasih lantaran HRS berada di situ, orang menjadi banyak tahu.
Jejak-jejak yang ditinggalkan oleh keriuh-rendahan kerumunan massa dalam serentetan acara-acaranya HRS yang tak mengindahkan protokol kesehatan di masa Covid-19, masih membekas tajam dalam catatan Tim Gugus Tugas Covid-19 dan masyarakat.
Maka, jelas sikap itu adalah pengingkaran terhadap kesepakatan publik bahwa, "Setiap figur publik, harus merelakan sebagian hak privasinya terampas, jika bukan justru malah sebagian besarnya."
Pers atau media, tentu saja yang berpegang pada dua elemen penting jurnalisme, "Komitmennya hanya pada kebenaran dan loyalitasnya pada rakyat", adalah reprsentasi publik.
Maka, alangkah lelahnya bila menjadi figur publik "baperan", ya? Dalam kalimat lain, ingin dikatakan, "Sudah risiko menjadi figur publik, sampai urusan tempat tidur, bahkan cawatnya pun disoroti publik".
Red/anekafakta.com
إرسال تعليق