Menang Tanpa Legitimasi, Orang Waras Wajib Meluruskan



Menang Tanpa Legitimasi, Orang Waras Wajib Meluruskan

Oleh Tubagus Solehudin, Ketua Klub Study Islam dan Politik (KSIP)

Jakarta,Anekafakta.com

Hiruk-pikuk Demokrasi Pemilu masih panjang. Masih banyak menyisakan masalah serius yang harus dibereskan. Terutama terkait penggelembungan suara yang sedang ramai disorot oleh tim peserta kontestasi. Sebab hal ini bila didiamkan akan memiliki dampak yang serius terhadap legitimasi kemenangan. Siapapun kelak yang dinyatakan menang tanpa memiliki legitimasi hanya seperti menegakkan benang basah yang rapuh.

Demokrasi memerlukan tiang penyanggah yang kokoh yaitu legitimasi. Legitimasi hanya bisa didapatkan dengan kejujuran dan transparansi. Kedua hal ini nampaknya menjadi barang mahal dalam pesta demokrasi tahun ini. Pentahapan pemilu yang ceria, meria dan riang gembira harus tercoreng di ujung surat suara. Yaitu terjadinya penggelembungan suara yang tidak sesuai.

Tentu saja hal ini sangat disayangkan. KPU sebagai lembaga negara yang di beri mandat oleh rakyat untuk melaksanakan pemilu seharusnya sudah mengantisipasi dan mendeteksi titik-titik rawan yang bisa merusak dan menodai serta mencoreng demokrasi Indonesia yang luar biasa di dunia.

Kasus penggelembungan suara yang dipersoalkan oleh banyak warga yang memposting langsung ke sosial media seharusnya segera diselesaikan dengan transparan. Penulis yakin, KPU tidak ada niat untuk melakukan itu. Namun karena sudah terjadi maka seharusnya KPU segera bertindak untuk melakukan audit internal agar sistem tabulasi suara bisa bekerja sesuai dengan yang terjadi di lapangan berdasar dokumen C1.

Penulis yakin dengan seyakin-yakinnya apa yang dikritisi oleh Timnas dan TKN masing-masing Paslon serta partisipasi aktif para relawan demokrasi merupakan bentuk kepedulian yang penting bagi terwujudnya demokrasi yang berkualitas di Indonesia. Bukankah prinsip dasar demokrasi adalah suara rakyat? Bukan suara rakyat adalah suara Tuhan. Inilah yang harus dipahami oleh semua pihak. Bukan masalah "tidak menerima kekalahan" atau "yang kalah pasti bilang curang". Tidak sesimple itu kita berpikirnya. 

Sebagai warga negara yang baik. Siapapun kita harus memastikan suara rakyat aman sesuai yang dicoblosnya. Mulai dari TPS hingga tingkat nasional di KPU. Siapapun yang melakukan "pencurian suara", "penggelembungan suara" ataupun "menghilangkan suara" rakyat merupakan tindakan berkhianat pada rakyat. 

Sebagai Warga Negara, kita percaya semua proses itu bisa berjalan sesuai dengan mekanisme yang dilandasi oleh kejujuran, moralitas dan transparansi. Agar hasilnya benar-benar sesuai cerminan dari aspirasi rakyat.

Percayalah, mengkhianati suara rakyat dengan melakukan "penggemukan suara" pada Paslon tertentu akan berdampak serius di masa depan terhadap demokrasi bangsa. Rakyat tidak akan percaya lagi terhadap panitia penyelenggara atau lembaga penyelenggara demokrasi seperti KPU. Pastinya, itu merupakan tanda-tanda akan munculnya pemerintahan  otoriter seperti di zaman orde baru. Kita tidak mau dan pasti akan menolak rezim Neo Orba hadir kembali di zaman reformasi yang diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh segenap Bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu menghadirkan demokrasi yang jujur, transparan, bermoral serta bertanggung jawab oleh KPU menjadi kewajiban yang penting. Tanpa bisa menghadirkan hal tersebut sulit rakyat sepenuhnya percaya akan hasil yang diumumkan oleh KPU. Dan dampaknya Pemerintahan yang dihasilkan dari keraguan dan ketidakpercayaan rakyat akan sangat rapuh. Dan ini berbahaya bagi bangsa Indonesia di masa depan. 

Bila demokrasi sudah dikhianati itu merupakan alarm alam tanda-tanda awal otorianisme bakal hadir kembali. Dan demokrasi kita akan menjadi mayat berjalan. So, Indonesia Emas di tahun 2045 yang digembar-gemborkan hanyalah menjadi khayalan belaka.

Jadi, kecurangan dalam berdemokrasi mahal harganya. Yang rugi kita semua.

Post a Comment

أحدث أقدم