Aktifis GAMRUD : Militerisme Bangkit Lagi, Kekhawatiran Ini Bukan Paranoia



Aktifis GAMRUD : Militerisme Bangkit Lagi, Kekhawatiran Ini Bukan Paranoia

Oleh : Dera Hermana



Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, Indonesia kembali menghadapi ancaman besar: kebangkitan militerisme dalam kehidupan sipil. Sejarah telah mengajarkan bahwa ketika militer terlalu banyak terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan, demokrasi menjadi korban pertama.

Kini, dengan disahkannya revisi Undang-Undang TNI hanya dalam waktu satu bulan, tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai, kita menyaksikan bagaimana mandat reformasi untuk menghapus dwifungsi militer telah dikhianati.

Rezim Prabowo-Gibran yang seharusnya melanjutkan demokrasi justru mengambil langkah mundur. Tidak cukup dengan mengesahkan UU TNI yang membuka ruang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan sipil, kini Komisi III DPR sedang mendorong pembahasan RUU Polri dan RUU Kejaksaan.

Jika kedua undang-undang ini juga disahkan dengan proses kilat yang serupa, Indonesia akan menghadapi masa depan yang semakin otoriter, di mana supremasi sipil hanya menjadi slogan tanpa makna.

Sejarah Orde Baru menjadi bukti bagaimana kekuasaan militer dalam kehidupan sipil menciptakan sistem represif yang menindas rakyat.

Genosida 1965, penculikan aktivis, pemerkosaan massal 1998, pembungkaman demokrasi, hingga pembodohan sistematis adalah catatan kelam yang tidak boleh terulang.

Kala itu, ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam kritik, mengontrol kehidupan sosial-politik, dan memastikan Soeharto serta kroninya berkuasa tanpa oposisi yang berarti. Reformasi 1998 lahir dari kesadaran bahwa militerisme bukan solusi, tetapi sumber masalah.

Maka, ketika langkah-langkah menuju kembalinya dwifungsi TNI mulai terlihat jelas, kita harus bertanya: apakah kita rela kehilangan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata?

Kekhawatiran ini bukan paranoia.

Dengan semakin besarnya keterlibatan militer dalam kehidupan sipil, yang diperparah dengan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan terhadap institusi hukum seperti Polri dan Kejaksaan, kontrol terhadap negara menjadi semakin sulit.

Saat militer, kepolisian, dan kejaksaan berada dalam kendali politik yang sama, siapa yang akan memastikan keadilan tetap ditegakkan? Siapa yang akan melindungi hak asasi manusia ketika seluruh institusi penegak hukum dipaksa tunduk pada kepentingan rezim?

Sebagai bagian dari gerakan mahasiswa, GAMRUD menegaskan bahwa "kita tidak boleh diam". Demokrasi bukan sesuatu yang bisa kita biarkan dirampas begitu saja.

Jika rakyat kehilangan suara, jika hukum hanya berpihak pada kekuasaan, jika kritik dianggap subversif, maka kita sedang berjalan mundur ke era di mana kebebasan hanya ilusi.

Indonesia seharusnya belajar dari sejarah.

Negara yang maju adalah negara yang menempatkan militer pada perannya yang semestinya: menjaga pertahanan negara, bukan mengatur kehidupan sipil.

Reformasi telah memberikan batasan yang jelas, dan batasan itu harus dijaga.

Jika tidak, kita akan menghadapi masa depan yang gelap, di mana demokrasi tidak lebih dari sekadar nama tanpa substansi, dan rakyat kembali hidup dalam ketakutan.

Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan: melawan atau menyerah.

Jika demokrasi benar-benar berharga, maka diam bukanlah pilihan. (*)

 

Penulis adalah Aktivis GAMRUD

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama