Dugaan Pelanggaran HAM Industri Nikel, Menteri ESDM Perlu Akselerasi Integrasi Prinsip Bisnis dan HAM



Dugaan Pelanggaran HAM Industri Nikel, Menteri ESDM Perlu Akselerasi Integrasi Prinsip Bisnis dan HAM


Anekafakta.com,Jakarta

Kebijakan hilirisasi industri nikel dan visi untuk menjadi pusat industri baterai kendaraan listrik dunia _(electric vehicle)_, diyakini pemerintah sebagai salah satu upaya meningkatkan nilai tambah sektor mineral. Di tengah obsesi Indonesia menjadi pemain global sektor nikel,  laporan yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS pada 5 September 2024 berjudul _"Global State of Child and Forced Labor,"_ yang memasukkan nikel dalam daftar tambahan produk atau komoditas yang diproduksi sebagai hasil dari Kerja Paksa _(forced labor)_ tahun 2024, adalah tamparan keras bagi pemerintah dan dunia usaha.

Merespon dugaan pelanggaran HAM itu, pemerintah melalui Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia (7/10/2024) menjawab dengan sikap _denial_ dan beranggapan bahwa laporan ini merupakan agenda asing yang ingin memperburuk citra Indonesia. Sebenarnya industri nikel Indonesia sudah berulangkali menjadi sorotan terkait buruknya aspek perlindungan terhadap tenaga kerja dan kerusakan ekosistem lingkungan yang berdampak bagi masyarakat sekitar, di dua wilayah utama, Morowali dan Halmahera Utara.

_SETARA Institute_ mengingatkan perihal pentingnya pemenuhan HAM dan lingkungan sebagai aspek utama dalam mewujudkan praktik bisnis yang bertanggung jawab _(responsible business practice)._

Sebagai produsen nikel terbesar di dunia dengan menyumbang 40,2% dari total produksi nikel global, sorotan terkait dengan buruknya kepatuhan dan pemenuhan terhadap aspek sosial, lingkungan dan tata kelola (ESG) industri nikel Indonesia, harus dipandang sebagai urgensi untuk memperbaiki kebijakan dan praktik tata kelola inudustri nikel yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Basa-basi ESG yang selama ini dipenuhi secara formalistik untuk kebutuhan kehumasan harus dibenahi dan memenuhi indikator keterpenuhan yang presisi. 

Ambisi untuk mencapat target Net Zero Emission pada tahun 2060 melalui pengembangan _electric vehicle,_ mesti paralel dengan agenda untuk penghormatan dan perlindungan HAM serta lingkungan.

Dalam laporan tersebut, dijelaskan bahwa industri nikel yang merupakan kemitraan antara Indonesia dan Tiongkok, ditengarai melakukan pemotongan upah yang sewenang-wenang, kekerasan, lembur yang berlebihan, dan pengawasan terus-menerus pada pekerja dari dua negara tersebut. Para pekerja Tiongkok juga dilaporkan menjadi sasaran penyitaan paspor dan pembatasan pergerakan. Belum lagi persoalan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak terpenuhi, dengan banyaknya kasus kecelakan kerja hingga merenggut korban jiwa.  Merujuk pada laporan ini, setidaknya 6 dari 11 indikator kerja paksa ILO sudah terpenuhi dan terjadi di industri nikel Indonesia.

Untuk menjawab temuan dan peristiwa serupa, transformasi rezim UNGPs (Prinsip-prinsip panduan PBB tentang Bisnis dan HAM) sebagai standar norma otoritatif global dalam perlindungan, penghormatan dan pemulihan HAM oleh entitas bisnis, harus menjadi perhatian utama pemerintah. Temuan dugaan pelanggaran HAM harus menjadi pemicu dan pemacu akselerasi integrasi prinsip bisnis dan HAM di sektor pertambangan.

Tren pembentukan undang-undang proses uji tuntas _(legislating fuller due diligence)_ HAM dan lingkungan melalui proses legislasi dan kebijakan sedang menuju mandatori uji tuntas, yang memandatkan agar perusahaan melakukan pendekatan berbasis resiko dengan menerapkan dan mengintegrasikan HAM dalam seluruh sistem dan manajemen resiko perusahaan, dalam rangka mencegah dan mengatasi dampak buruk HAM. 

Oleh karenanya, sebagai sebuah resolusi global yang diadopsi secara bersama oleh negara-negara, termasuk Indonesia, dugaan pelanggaran HAM di sektor nikel tidak cukup dijawab dengan pembelaan nasionalisme simbolik. Paradigma mengenai kepatuhan pada norma  HAM dan lingkungan oleh perusahaan merupakan keniscayaan dalam mewujudkan transformasi bisnis yang bertanggung jawab serta transisi yang berkeadilan. 

Narahubung:

Nabhan Aiqani, Peneliti Bisnis dan HAM _SETARA Institute_, 0813 6772 1163

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama