Wajah Demokrasi kita : pertarungan New Orla vs New Orba?



Wajah Demokrasi kita : pertarungan New Orla vs New Orba?


Oleh Tubagus Solehudin Ketua Klub Study Islam Politik dan Peradaban (KSIP2) Nusantara

Lucu juga para petinggi Pejabat kita. Mereka meminta rakyat untuk  dewasa dalam mensikapi perbedaan sikap politik para elit partai dalam menentukan siapa calon yang akan diusung oleh para elit politik. Menurut mereka, perbedaan sikap politik adalah hal lumrah. Bisa sepakat untuk tidak bersepakat. Tidak bersepakat tapi dalam satu gerbong koalisi.

Logika politik begitu sekarang yang menjadi mainstream. Bersama tapi berbeda. Bersama tapi tidak bersepakat. Ikatannya cuma satu : kepentingan materi. Titik.

Politik kita ikatannya bukanlah ideologi, tapi posisi. Parpol bersama dapat posisi apa. Tanpa posisi ya sudah jadi oposisi wae. Sesimpel itu. Sebenarnya keren sich. Tapi untuk jangka panjang sikap mental politisi seperti itu akan meruntuhkan benteng ideologi bangsa secara keseluruhan.

Dalam jangka panjang benteng negara dalam ancaman serius. Nekolim dengan mudah akan memainkan proxy untuk bisa mengendalikan bangsa kita. Kehidupan demokrasi kita tidak akan murni lagi sebagai bentuk aspirasi kebatinan rakyat Indonesia. 

Karena ketiadaan "ideologi partai", sekarang ini, Demokrasi kita terlihat seperti jasad tanpa ruh. Pemimpin yang dilahirkan dari demokrasi semacam itu hanyalah boneka dari "tangan-tangan yang tidak terlihat" yang memegang kendali kekuasaan yang sebenarnya. Rakyat hanyalah wayang yang bisa dimainkan tanpa tahu mau kemana arahnya. Suaranya dibuat gaduh seolah-olah ada ruang demokrasi yang sesungguhnya. Padahal hanyalah bentuk lain dari kegaduhan sosial yang terkendali.

"Politik" kita sangat "cair". Pasca Rezim Orba tumbang dan berganti rezim Orde Reformasi. Kekuasaan pun silih berganti. Wajah politik kita pun berubah. Hampir semua partai politik memegang prinsip "tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada cuma kepentingan yang sama". Tidak ada "greget ideologi" yang mencerdaskan kehidupan politik bangsa. Semuanya manut seperti sediakala di zaman Orde Baru. Siapa "pemenang", dia yang harus diikuti kehendaknya. Siapa yang melawan harus siap-siap tersingkir atau disingkirkan.

Fenomena mundurnya Ketum Golkar Airlangga dan dikucilkannya PDIP dan Anis Baswedan dari gelanggang politik bisa kita baca sebagai bukti otentik betapa kuatnya mental ABS seperti di zaman Orde Baru.

Seperti Mundurnya Airlangga dari ketum Golkar berdampak pada kader-kader Golkar yang sudah berdarah-darah berjuang bersama Golkar dalam memenangkan Pileg dan Pilpres tidak mendapat apresiasi yang semestinya. 

Khusus di Banten, "hengkangnya" Hajjah Airin Rachmi Diany dari partai Golkar dari Pencalonan Gubernur Banten, malah diusung oleh PDIP dari adalah bukti otentik politik kita bahwa politik kita sangat mengabaikan perjuangan kader yang sudah berdarah-darah. Keringat Airin sama sekali tidak berarti di mata "kekuasaan" yang memegang kendali.

Tentu saja prilaku elit politik begitu, cepat atau lebih cepat akan memercikan perlawanan senyap dari kader dan rakyat. Kader partai bersama rakyat akan membuktikan sendiri kekuatannya dan memilih jalan kemenangannya sendiri. Bila sudah begitu, partailah yang akan rugi baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Kita sangat menyayangkan, partai politik sebagai kendaraan perjuangan aspirasi rakyat telah dibelokkan menjadi alat kepentingan "penguasa" dan harus sejalan dengan kemauan "penguasa".

Alhamdulillah, kita rakyat Indonesia masih beruntung memiliki PDIP Partai yang konsisten dalam mengawal Konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga rakyat masih memiliki harapan.

Apakah kemenangan Prabowo Subianto merupakan awal dari "pertarungan" awal New Orba yang diwakili oleh Prabowo Subianto cs VS New Orla yang diwakili oleh PDIP yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. 

Kita berdoa semoga bangsa kita selamat dari siklus "rusuh" 30 tahunan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama