Film Dokumenter ‘Yang Tak Pernah Hilang’ Guncang Pangkalpinang: Kisah Heroik Aktivis 98

Film Dokumenter 'Yang Tak Pernah Hilang' Guncang Pangkalpinang: Kisah Heroik Aktivis 98


JAKARTA,- Anekafakta.com


Kisah heroik dan tragis tentang Herman Hendrawan, seorang aktivis reformasi 1998 yang hilang secara paksa, kini menyentuh hati masyarakat Bangka Belitung melalui film dokumenter bertajuk "Yang Tak Pernah Hilang". Film ini diputar di bioskop dan aula Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Bangka Belitung, menghidupkan kembali kenangan akan sosok Herman yang berjuang demi demokrasi di Indonesia. Selasa (2/7/2024).

Setelah pemutaran perdananya di Cinema XXI Pangkalpinang pada Minggu, 30 Juni 2024, yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, film ini kembali diputar di aula Unmuh Babel pada Senin malam, 1 Juli 2024. Pemutaran film ini merupakan hasil kerja sama berbagai pihak, di antaranya KawanHermanBimo, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Film dokumenter "Yang Tak Pernah Hilang" mengisahkan perjuangan dan pengorbanan Herman Hendrawan serta Bima Petrus, dua aktivis yang diculik oleh tentara Orde Baru. Herman, putra asli Kota Pangkalpinang, merupakan sosok yang aktif dalam dunia aktivisme dan menjadi salah satu korban penghilangan paksa pada tahun 1998.

Film ini dibuat sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan mereka dan sebagai media untuk mengingatkan publik tentang sejarah reformasi yang penuh gejolak.

Produser film, Dandik Katjasungkana, menjelaskan bahwa tujuan pembuatan film ini adalah untuk menormalisasi dan mengingatkan publik tentang peristiwa sejarah yang masih belum terselesaikan.

"Pemutaran film 'Yang Tak Pernah Hilang' ini sebagai media untuk mengingatkan kepada publik tentang sejarah untuk memberi rasa keadilan kepada keluarga korban yang diculik.

Selain itu, film ini juga menjadi bentuk edukasi kepada generasi milenial dan Z agar mereka bisa belajar dari peristiwa sejarah kemanusiaan masa lalu, sehingga bisa berempati dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan," ujar Dandik.

Dandik menambahkan bahwa film ini dibuat tepat dua bulan setelah jatuhnya Soeharto, saat Herman dan Bima diculik oleh tentara Orde Baru. Hingga saat ini, kasus penghilangan mereka belum diselesaikan atau diadili.

"Dari tahun 1998 sampai sekarang, sudah 26 tahun kasus ini terkatung-katung, jadi kami berinisiatif membuat film ini untuk mengapresiasi kawan kami Herman dan Bimo yang mempunyai peran penting dalam sejarah perubahan Republik Indonesia, tetapi tidak ada pengakuan atau proses pengadilan," ungkapnya.

Respon penonton, khususnya mahasiswa, setelah menonton film ini cukup menggembirakan. Dandik berharap para mahasiswa bisa mencari sumber-sumber informasi yang objektif agar memahami dengan baik dan bisa berempati terhadap keluarga korban.

"Film ini telah diputar di beberapa kota seperti Malang, Surabaya, dan Yogyakarta, termasuk di kampus-kampus, yang mendapat respon baik. Banyak mahasiswa yang mengatakan bahwa mereka tidak akan mengerti tentang peristiwa penculikan tahun 1998 jika tidak menonton film ini," tuturnya.

Dewi, salah satu mahasiswa Unmuh Babel yang menyaksikan film tersebut, merasa film ini sangat inspiratif dan mendorong mahasiswa untuk lebih aktif serta mengetahui tentang sejarah.

"Film ini sangat menginspirasi mahasiswa untuk menjadi seorang aktivis dan harus banyak mengetahui tentang sejarah. Di sini, mahasiswa harus mendalami mengenai keadilan, di mana keluarga korban tidak mendapatkan keadilan dari negara. Sangat disayangkan negara masih buta dengan hal ini," ujarnya.

Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Fadillah Sabri, yang merupakan teman sekelas Herman Hendrawan saat di Sekolah Menengah Pertama, mengenang Herman sebagai siswa yang sangat aktif.

"Herman adalah aktor intelektual dari gerakan-gerakan organisasi pro demokrasi. Banyak mahasiswa yang digerakkannya, termasuk tokoh-tokoh baru di Surabaya yang merupakan hasil didikannya," kenang Fadillah.

Film "Yang Tak Pernah Hilang" tidak hanya mengisahkan perjuangan dan pengorbanan Herman Hendrawan, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya keadilan dan hak asasi manusia. Melalui film ini, penonton diajak untuk kembali mengenang peristiwa reformasi 1998, yang menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia.

Penayangan film ini di Bangka Belitung diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya menghargai perjuangan para aktivis dan memperjuangkan keadilan.

Dengan mengingat kembali sejarah, diharapkan masyarakat dapat mencegah terulangnya kejahatan kemanusiaan di masa depan dan terus memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Film ini juga menjadi sarana untuk mengembalikan ingatan kolektif masyarakat tentang masa lalu yang penuh perjuangan. Dengan demikian, semangat para aktivis yang telah berjuang demi demokrasi dan keadilan tidak akan pernah hilang dan tetap hidup dalam hati setiap generasi.

"Yang Tak Pernah Hilang" bukan hanya sekadar film dokumenter, tetapi juga sebuah pengingat bahwa sejarah adalah bagian penting dari identitas bangsa yang harus selalu dihargai dan diperjuangkan.

(D.Wahyudi)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama