STB Divonis 10Tahun Kasus Pencabulan Balita Oleh Hakim, Ibu Korban Histeris," Kalian Membela dan Memihak Siapa Sih",


Tangerang, Anekafakta.com 

Kasus perkara dugaan pencabulan anak dibawah umur (balita ) dengan terdakwa Saur Timoteus Banjarnahor (STB) yang sedang bergulir dan sudah pada tahap persidangan putusan dengan agenda sidang pembacaan putusan majelis hakim yang digelar di PN Tangerang hari Senin, 20/5/2025.

Dalam persidangan ini ketua majelis hakim Santosa, S.H, .M.H membacakan hasil putusan majelis hakim PN Tangerang dengan memutus terdakwa dengan vonis 10 tahun subsider 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan lebih rendah dari tuntutan JPU yaitu 12 tahun penjara.

Terhadap putusan majelis hakim terdakwa melalui video confrence menolak dan akan mengajukan banding karena merasa tidak melakukan perbuatan tersebut dan kuasa hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Adapun diketahui bahwa yang menjadi korban dalam kasus ini adalah anak balita berusia sekitar 3,5 tahun. Dimana Pelaku/Terdakwa merupakan orang Dewasa berusia sekitar 48 tahun, dan pelaku merupakan tetangga rumah dari anak korban, yang berdomisili di wilayah Muncul Tangerang Selatan yang sebenarnya sedang dititipkan oleh ibu korban dirumahnya.
Mendengar hasil putusan didalam ruang sidang ibu korban menangis histeris karena merasa kecewa dengan putusan majelis
kalian membela dan memihak siapa sih ,ujarnya.
Hakim yang dianggapnya tidak sesuai harapan dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi anaknya.Menurutnya seharusnya majelis hakim memutuskan dengan mempertimbangkan trauma psikis yang dialami dan oleh korban yang masih usia balita yang mungkin akan sangat berdampak besar dalam pertumbuhannya hingga dewasa.

Sebelumnya diketahui pelaku ditahan di Polres Tangerang Selatan sejak sekitar bulan Oktober 2023, hingga saat ini. Proses persidangan pertama di Pengadilan Negeri Tangerang dimulai sejak 15 Februari 2024.

Sementara itu selama persidangan berjalan, PH korban telah melaporkan Majelis Hakim yang menangani perkara a quo ke Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung serta Ketua Pengadilan Negeri Tangerang atas adanya dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim. Dimana PH Korban merasa persidangan yang berjalan kurang berimbang dan merugikan kepentingan anak korban dimana pihak PH terdakwa dalam memberikan pertanyaan kepada saksi dengan intonasi yang agak tinggi sehingga mengakibatkan kegugupan terhadap saksi dalam memberikan kesaksiannya dan sempat pula dalam beberapa sidang pihak PH korban tidak diperkenankan masuk persidangan untuk mendampingi saksi korban, ada apa?
Penasehat Hukum korban dari LP4AI Juwita Manurung, S.H, M.Kn menyampaikan kepada awak media yang meliput sidang sangat kecewa dengan putusan majelis hakim yang dirasa tidak sesuai dengan harapan. Menurut nya bahwa JPU mendakwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan pasal 82 UU No.17 Tahun 2016 (ancaman hukuman maksimal 15 tahun) serta menuntut Terdakwa dengan tuntutan 12 tahun subsider 6 bulan penjara apalagi ketika dalam memutuskan majelis hakim menganggap barang bukti berupa flashdisk berisi video tidak dapat dijadikan barang bukti yang memenuhi unsur sehingga dapat diabaikan padahal seharusnya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan demi rasa keadilan bagi anak yang merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi.

" Ya kami dari P4AI sangat kecewa bahwa tuntutan 12 tahun yang disampaikan JPU, namun ternyata putusannya adalah 10 tahun yang seharusnya hakim bisa melihat dan memberikan putusan maksimal terhadap perkara ini karena ini adalah kasus anak yang Sangat memberatkan dan juga menjadi perhatian kita dan ini tidak mungkin harus terulang lagi seperti ini kami sangat kecewa dengan tuntutan dari jaksa dan juga kecewa terhadap putusan yang mana berkurang 2 tahun dan tidak maksimal yang kami harapkan adalah 15 tahun dari P4AI namun hari ini kami sebagai pencari keadilan melihat bahwa tidak adanya rasa keadilan yang kami terima terkait dengan perkara kasus anak ini ,"ujar Juwita.
"nah kami mohon langkah berikutnya dari para majelis hakim untuk bisa kembali memperbaiki kinerja apalagi khusus terhadap anak," Tegasnya.

Senada dengan itu Lumita Sartika Aritonang, S.H salah satu kuasa hukum korban masih dari P4AI juga menyampaikan, kami tentunya sangat kecewa dengan putusan ini, dan akan berdiskusi dengan tim terkait langkah-langkah hukum yang akan kami tempuh, "katanya.

Lagi kata Juwita,
"langkah selanjutnya karena kami memperjuangkan anak yang mana kasus ini seharusnya dapat menjadi pelajaran buat kita semua bahwa terhadap anak untuk pengadilan herus lebih peka dan lebih maksimal dalam mengajukan tuntutan terhadap kasus ini yang kami harapkan oleh JPU bisa maksimal dan kami harapkan juga keputusan pengadilan yang maksimal tapi ternyata hal yang kami rasakan kami hari ini putusan itu sangat mengecewakan apalagi kita mencintai anak-anak,", pungkasnya.

Diketahui sebelumya PH Korban juga telah melaporkan JPU yang berinisial EP (diketahui menjabat sebagai Kasubsi Penuntutan dan Pidum Kejari Tangsel) yang menangani perkara a quo ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (JAMWAS), KOMISI KEJAKSAAN serta Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang Selatan. Atas adanya dugaan pelanggaran kode perilaku jaksa sehubungan dengan tuntutan yang diberikan kepada pelaku, dan kurangnya profesionalitas JPU dalam memberikan informasi apa yang menjadi hak korban.

Di sisi lain isebelum sidang putusan ini yaitu pada sidang dakwaan atas tuntutan yang dibacakan, terdakwa melalui Penasehat Hukumnya meminta kepada majelis hakim agar terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan yang diajukan oleh JPU karena tidak ada satupun bukti yang dapat menunjukkan bahwa terdakwa adalah pelaku kekerasan seksual terhadap anak korban yang berusia 3,5 tahun tersebut.

Sesuai dengan pernyataan sebelumnya Kuasa hukum korban mengatakan bahwa jika pada tanggal 20 Mei 2024 Majelis Hakim akan membacakan Putusan terhadap kasus ini dan sangat berharap betul jangan sampai hakim memberikan keringanan hukuman atas tuntutan yang diajukan jaksa, mengingat dalam perjalanan kasus ini Terdakwa secara sadar dan meyakinkan tidak mengakui seluruh perbuatannya, bahkan melalui kuasa hukumnya meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan akibat Jaksa tidak dapat membuktikan dakwaannya,
Bilamana hakim dalam memutus perkara ini menjatuhkan vonis dibawah tututan yang diajukan oleh jaksa. Kami menganggap HAKIM TELAH KELIRU DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERKARA tersebut serta MENGABAIKAN SELURUH KETERANG SAKSI, BUKTI maupun FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN;

"dan kami anggap perilaku hakim tersebut telah menciderai nilai-nilai moral dan kemanusiaan serta keadilan yang tumbuh dalam masyarakat ''
Sehingga kami tidak akan ragu untuk melaporkan Majelis Hakim yang menangani perkara ini kepada KOMISI YUDISIAL, guna dilakukan pemeriksaan terhadap ybs. Karena kami sangat yakin, putusan yang dijatuhkan ini janggal dan tidak masuk diakal. Bagaimana mungkin hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah dari tuntutan, sementara TIDAK ADA ALASAN YANG CUKUP MERINGANKAN BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MENGAKUI PERBUATANNYA SENDIRI. '' Negara akan mencatat bahwasannya putusan yang dijatuhkan ini adalah sebuah kekejian dan citra yang buruk dalam penegakan hukum dinegara kita TERLEBIH BAGI ANAK KORBAN (balita) YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL ''

Yang menjadi perhatian dan pertanyaan dari hasil putusan ini adalah pertimbangan hakim dalam memutuskan dibawah tuntutan JPU karena faktor terdakwa merupakan tulang punggung dan sama- sama punya anak dan faktor yang normatif terdakwa belum pernah dihukum sedangkan jelas dengan bukti vicum membuktikan adanya bekas kekerasan pada alat vital korban dan pengakuan korban yang trauma dan takut bertemu terdakwa dengan berkata "opung jahat "yang mungkin akan terbawa sampai dewasa dan dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan serta pertumbuhan korban kedepannya serta terdakwa yang tidak mengakui perbuatannya bukanlah itu salah satu yang dapat memberatkan terdakwa juga.Yang perlu di garis bawahi dalam asusila/pencabulan / kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah sebagai orang tua seharusnya melindungi dan menyayangi anak yang merupakan generasi penerus bangsa bukan menjadikan obyek pelampiasan hasrat seksualnya jelas itu perbuatan keji dan menghancurkan/merusak anak sebagai generasi bangsa yang dilindungi negara yang selayaknya dituntut dan mendapat hukuman yang maksimal agar ada efek jera dan tidak terulang kepada anak anak lainnya sebagai generasi penerus bangsa ini.

Tentunya sangat miris sekali ketika sebagai orang seharusnya melindungi dan menyayangi anak justru melakukan perbuatan keji kk kepada anak yang berpotensi merusak,menghancurkan masa depan anak tidak mendapat hukuman maksimal bahkan mungkn lebih tinggi dari tuntutan karena anak-anak adalah generasi bangsa yang harus dilindungi.

(Antonius Rudi)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama