Relasi Hukum dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Keteraturan Yang Positif



Relasi Hukum dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Keteraturan Yang Positif

Jakarta,Anekafakta.com

Hukum atau dalam istilah Islam disebut syara' merupakan suatu norma yang wajib dipatuhi oleh segenap insan. Hukum bertujuan untuk mencapai kepastian (yuridis dogmatif), keadilan (justice) yg proporsional dan kemanfaat (utility) sebesar2nya bagi masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan itu, Hukum berfungsi sebagai alat untuk control sosial dan memodifikasi perilaku sosial ke arah yang lebih teratur. Maka oleh Roscoe Pound tujuan Hukum tak lain sebagai law as a tool of social engeneering (Hukum sebagai alat rekayasa sosial). Dalam arti hukum diumpakan sebagai mekanik untuk mengontrol perilaku manusia dari arah yang menyimpang dari aturan kepada patuh dan taat terhadap setiap aturan dan kebijakan.

Namun realitas yang terjadi selama ini hukum sebagai alat mekanik atau control sosial mengalami kemacetan atau dapat dibilang rusak. Ibarat suatu mesin motor yang telah rusak, sehingga tidak dapat berjalan lagi. Begitu juga dengan hukum mengalami kemacetan. Apa yang menyebabkan kemacetan hukum itu? Tak lain, dari para mekanik nya yaitu para penegak hukumnya sendiri yang menyimpang dari aturan yang positif. Apa penyebabnya? Ini dikarenkan telah terpisahnya nilai-nilai moralitas atau akhlak mulia dalam diri penegak hukum itu sendiri. Maka kita dapat menyaksikan di media2 dan berita pelanggaran hukum seperti penyalahgunaan wewenang, malpratek, korupsi, money loundring (pencucian uang), cyber crime, dan lain sebagainya itu semua dilakukan oleh para pemegang otoritas yang faham hukum.

Bagaimana untuk memperbaikinya. Ya memperbaiki tidak cukup dengan memberikan melalui pendidikan hukum, ini harus dilakukan suatu pendidikan khusus, yang dinamakan pendidikan spiritual (tarbiyah ruhani). Maka disinilah peran tasawuf untuk dapat berkontribusi dalam memberikan perbaikan nilai, moral (akhlak), dan  etika (adab) bagi para penegak hukum maupun para pemegang otoritas yang berwenang dibidang hukum.

Secara umum dapat fahami, tasawuf adalah suatu ilmu untuk dapat menghilangkan segala perilaku dekadensi moral (akhlak), memperbaiki dan membersihkan akhlak dari segala unsur-unsur yang tercela. Tasawuf berfungsi sebagai metode untuk bagaimana dekadensi moral itu dapat dihilangkan dan dibersihkan yang semuanya itu bersumber dalam hati.
Adapun metode atau praktek tasawuf melalui tarekat atau tarbiyah ruhani melalui seorang dokter spesialis batin yaitu para guru-guru sufi yang dikenal istilah Syekh atau murysid. mursyid memberikan rehabitiasi jiwa bagi para aktor penegak hukum melalui bimbingan zikir, mujahadah, suluk dan rabitha. Maka apabila rehabilitasi jiwa dilaksanakan secara kontinu (istiqamah) dan shidiq (benar) maka akan terwujudlah kesadaran iman bagi para penegak hukum dari kesasaran iman ini bagi penegak hukum, dan dari kesadaran iman ini
akan melahirkan kesadaran hukum bagi penegak hukum.

Dalam pembincangan ilmiah tentang hukum, maupun di dalam literatur buku2 dan pendapat para ahli hukum, bagaimana sulitnya untuk mewujudkan kesadaran hukum bagi para penegak hukum itu sendiri. Jika hanya berpatokan kepada teori-teori hukum sangat sulit untuk menjawabnya. Namun, tasawuf dapat memberikan solusi problem solving untuk dapat terwujudnya kesadaran hukum bagi penegak hukum itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan.
Maka dalam hal ini, sangat penting untuk tetap senantiasa memberiian sosialisasi-sosialisasi peran dan pentingnya nilai-nilai tasawuf bagi setiap dimensi masyarakat. Maka ini peran bagi para pakar-pakar tasawuf untuk tidak hanya  terus berdakwa, dam berkomunikasi dengan para penegak hukum, juga para pakar tasawuf dapat ber interaksi dengan penegak hukum sehingga tercapailah relasi antara hukum dan tasawuf dalam mewujudkan keteraturan yang positif.

Apabila jiwa spiritual penegak hukum telah baik dan bersih dari sifat-sifat tercela, maka mereka dapat menjalankan kebijakan dan keputusan hukum yang harmonis, dan sesuai dengan amanah konstitusi dan ideologi negara. Maka hukum tidak hanya sebagai alat rekayasa sosial melainkan hukum sebagai sarana untuk dapat mewujudkan akhlak yang baik dan memberikan ketertibatan dan keadilan bagi setiap masyarakat. Hukum yang baik apabila nilai-nilai spiritual yang ada dalam diri penegak hukum itu bersih dari intervensi keegoisan diri. Dengan demikian akan terciptalah produk hukum yang populistik yang dapat memenuhi keadilan, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Penulis; Budi Handoyo, SH., MH Dosen dan Pengurus Rumah Moderasi Beragama [RMB] STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh-Aceh.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama