Legalisme Otokritik, Pakar Hukum Ungkap Pembungkaman Rakyat, DPR Hingga KPK
JAKARTA -anekafakta.com Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jantera, yang juga pakar hukum tata negara , Bivitri Susanti mengatakan, pemerintah melakukan pembungkaman terhadap masyarakat, KPK, DPR, hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Bivitri menyebut, tindakan tersebut sebagai sebuah legalisme otokritik.
Hal tersebut Bivitri katakan dalam acara temu ilmiah bersama sejumlah guru besar dan akademisi dari universitas se-Jabodetabek yang bertajuk 'Menegakan konstitusi, memulihkan peradaban berbangsa dan hak kewargaan' di Gedung Emeri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).
"Satu DPR, kedua MK, lihat sendiri, revisi UU KPK yang dibiarkan, Perppu Cipta Kerja, dan lain sebagainya. Yang ketiga masyarakat sipil yang kritiknya dibungkam. Dan keempat KPK itu sendiri yang sudah dibungkam. Itu yang saya potret sebagai autocratic legalism di Indonesia," kata Bivitri.
Dia menjelaskan, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang gaduh bukan demokrasi yang tenang seperti dibawah kepemimpinan yang otokritis.
"Makanya demokrasi akan selalu gaduh, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang gaduh. Demokrasi yang tenang, menurut saya, adalah otokratisme terselebung, karena orang-orang dilarang melawan," ucap Bivitri.
Otokritisme yang dimaksud Bivitri adalah bagaimana kritik terhadap kekuasaan pembatasan kekuasaan melalui lembaga-lembaga negara sebenarnya sedang dimatikan.
"Dan karena itu sebetulnya saya sedang membuat studi yang memotret autocratic legalism di Indonesia. Bagaimana kritik terhadap kekuasaan, pembatasan terhadap kekuasaan melalui lembaga-lembaga negara sebenarnya sedang dimatikan. Makanya namanya otokratik, otokratisme yang didukung oleh legalisme," jelasnya.
Bivitri melihat lembaga seperti DPR hingga KPK kini sudah mati. DPR hingga KPK disebut Bivitri tidak lepas dari campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"DPR mati sebagai lembaga yang menyeimbangkan kekuasaan. Tidak pernah lagi ada hak angket sejak 2017. Presiden mau matikan KPK, dua minggu pada 2019 revisi UU KPK keluar," kata Bivitri.
"Presiden ingin memberikan konsesi yang bagus untuk para pemilik tambang batu bara, enam hari revisi UU Minerba keluar. Presiden ingin memindahkan ibu kota ke IKN, 21 hari UU-nya dikeluarkan begitu saja oleh DPR," sambungnya.
Untuk itu, Bivitri mendesak agar ruang seperti hak angket perlu diberikan, demi memberi kejelasan kepada warga mengenai dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang luar biasa besar.
Dia turut menyebut Jokowi sudah terlalu menyalahgunakan kekuasaan, sehingga perlu pengadilan rakyat. "Bagaimana kita menggali hukum alternatif terbadap hukum yang tengah mengalami kejumutan seperti ini. Misalnya untuk mengadakan pengadilan rakyat bagi kekuasaan yang terlalu disalahgunakan oleh Jokowi," tutupnya.
(D.Wahyudi)
Posting Komentar