Dalam Demokrasi, Menang Kalah Biasa Saja
Oleh Tubagus Solehudin Ketua Klub Study Islam dan Politik (KSIP) dan Pembelajar Falsafah Leluhur Nusantara
Menerima kekalahan adalah sikap ksatria. Tidak perlu panjang Kalam berapolagi ini itu. Terlebih sampai menuduh pihak-pihak lain berlaku curang. Itu sama saja dengan menuduh rakyat kita bodoh. Padahal jelas, rakyat adalah hakim yang paling waras untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin bangsa Indonesia selanjutnya.
Ada persoalan lain yang perlu kita kritisi itu sebuah kewajaran dalam demokrasi. Sebab demokrasi adalah sebuah ruang terbuka yang siapa saja bebas bisa memasukinya. Bahkan hantu belawo pun sah saja masuk wilayah demokrasi. Masuk tanpa paksaan.
Kita semua tahu dan paham, dalam demokrasi sosok yang dianggap pantas oleh kita belum tentu pantas dianggap oleh rakyat. Beratus contoh kejadian mengabarkan hal tersebut. Terbaru, seorang pengamen mendapat suara terbanyak di dapilnya. Minim modal bahkan nyaris tanpa duit. Begitu juga seorang Ibu yang berprofesi sebagai ART mendapatkan suara puluhan ribu. Dan kita dengar juga seorang komedian Komeng mendapatkan suara yang begitu Fantastis.
Inilah adalah fakta politik. Dan inilah wajah demokrasi kita.
Sosok yang dianggap remeh, dan di pandang rendah justru mendapat simpati dari rakyat. Bahkan yang terpilih. Bukankah ini adalah fakta politik? Lalu mengapa kita harus menolak fakta politik ini.
Saya renungi juga narasi curang yang digembar-gemborkan oleh berbagai pihak. Sambil terus mencerna maksud dari tuduhan curang. Hemat saya, tidak ada yang aneh ketika ikut pencoblosan di hari H. Semuanya wajar berjalan sebagaimana mestinya. Saya lihat juga para saksi dari berbagai partai politik serta saksi dari para caleg. Semuanya berjalan normal. Bila terjadi kecurangan pasti akan berteriak serempak dan sangat mudah diketahui.
Bila masalahnya kemudian muncul karena sistem sirekab yang ngaco mengapa tidak dilokalisir masalahnya di situ saja. Bukan diperluas dalam diskursus yang semakin melebar kemana-mana.
Amat tidak bijak, bila para elit politik terus menerus memprovokasi rakyat untuk ikut bersikap mengikuti irama lagu politisi. Tugas rakyat sudah selesai melakukan kewajiban dan haknya yaitu mencoblos yang diyakininya. Untuk selanjutnya tugas para elit yang menyelesaikan masalah teknis bila terjadi "kecurangan". Asal rakyat jangan diprovokasi untuk menjadi bemper kepentingan elit politik yang sudah gendut. Saat ini rakyat butuh makan. Harga beras sangat tinggi sekali. Siapa yang memikirkan nasib rakyat?
Mari kita bersikap bijak dan bersikap ksatria agar bangsa kita tidak terjebak lagi dalam konflik horizontal siklus 30 tahun-an. Cukup sudah peristiwa kelam '66 dan '98 yang meluluhlantakkan tatanan yang sudah dibangun dengan susah payah bangsa kita.
Bila masih ngotot dengan hasil pilihan rakyat silahkan diselesaikan dengan cara politik di DPR saja. Itu lebih elegan dan dewasa. Pasti rakyat tetap mengawasi.
Selamat bekerja para politisi Senayan. Kami menunggu karya nyatanya.
Posting Komentar