Upaya Perlindungan HAM bagi Klien Pemasyarakatan Dewasa melalui Pendampingan dalam Sistem Peradilan Pidana

*Upaya Perlindungan HAM bagi Klien Pemasyarakatan Dewasa melalui Pendampingan dalam Sistem Peradilan Pidana*


Jakarta,anekafakta.com-Pada tanggal 3 Agustus 2022, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan telah disahkan dan telah berlaku di tengah masyarakat. Sesuai dengan salah satu asas peraturan perundang-undangan, yaitu Lex Posteriore Derograt Lex Apriore (peraturan yang terbaru mengenyampingkan peraturan yang lebih lama), ketentuan yang berada di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sudah tidak lagi berlaku. UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan hadir sebagai dasar kebijakan atas sebuah subsistem peradilan pidana yang mcnyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan.

Kehadiran UU No. 22 Tahun 2022 telah memberikan perubahan yang cukup signifikan bagi sistem peradilan pidana. Perubahan tersebut antara lain, adanya perluasan cakupan dari tujuan sistem pemasyarakatan, yakni tidak hanya meningkatkan kualitas narapidana dan anak binaan, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan terhadap hak tahanan dan anak. Pemasyarakatan tidak lagi hanya hadir pada tahap akhir dari proses penegakan hukum pidana, melainkan sejak tahap awal, yaitu pemeriksaan di kepolisian. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari adanya peran pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang dimulai dari tahap praadjudikasi sampai dengan tahap pascadjudikasi dan bimbingan lanjutan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 15 huruf a UU No. 22 Tahun 2022.

Perluasan Peran Pendampingan bagi Klien Pemasyarakatan

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (9) Permenpan RB Nomor 22 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Pembimbing Kemasyarakatan, pendampingan didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan dalam membantu Klien untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehingga klien dapat mengatasi permasalahan tersebut dan mencapai perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Klien Pemasyarakatan dimaknai sebagai mereka (baik dewasa maupun anak) yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang disiapkan untuk proses reintegrasi sosial sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (8) juncto Pasal 1 ayat (11) UU No. 22 Tahun 2022.

Secara khusus, pendampingan bagi Klien Pemasyarakatan Anak yang diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2022 tersebut bukanlah suatu hal yang baru. Pendampingan telah diatur begitu jelas di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada Pasal 23 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa "Dalam setiap tingkat pemeriksaaan anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Akan tetapi, sebelum disahkannya UU Pemasyarakatan yang terbaru, tidak ada aturan yang mengatur mengenai adanya peran pendampingan Klien dewasa dari Pembimbing Kemasyarakatan selama proses penegakan hukum pidana. Hukum acara pidana hanya mengatur terkait dengan diberikannya bantuan hukum pada setiap tingkatan pemeriksaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan demikian, melalui UU Pemasyarakatan, peran pendampingan oleh PK mulai diperluas bukan hanya pada Klien Anak, tetapi juga Klien Dewasa. Peran tersebut tentunya memiliki tujuan luhur dalam upaya menegakkan keadilan dalam sistem peradilan pidana.

Perlindungan HAM melalui Pendampingan Klien Dewasa

Penjabaran di atas tentunya menimbulkan pertanyaan terkait dengan aturan Pendampingan yang diperuntukan bagi Klien Pemasyarakatan Dewasa. Jika melihat tujuan pendampingan, kita akan mendapati bahwa, "Pendampingan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dan perlindungan hak dalam proses peradilan sejak tahap praadjudikasi sampai dengan pascaadjudikasi dan bimbingan lanjutan," sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2022.

Pemenuhan perlindungan hak Klien tersebut sesuai dengan transformasi sistem peradilan pidana melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal 52 KUHP terbaru, Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Semangat menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia tersebut sejatinya harus mampu dipenuhi dengan pelaksanaan fungsi pendampingan.

Penulis ingin menekankan bahwa HAM sebagai hak dasar melekat pada setiap insan harus diberikan dan dilindungi secara utuh, termasuk bagi Klien. Walaupun tengah menjalani proses penegakan hukum pidana, hak Klien tidak serta merta hilang dan tidak dilindungi. Hal ini selaras dengan adanya asas non diskriminasi sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 7 Declaration of Human Rights. Hak-hak yang tidak dapat dikurangi atau non derogable rights tetap melekat pada Klien Pemasyarakatan Dewasa. Begitupun hak-hak lainnya yang diatur di dalam hukum positif tetap harus ditegakkan, antara lain di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara hukum internasional diatur di dalam Declaration of Human rights, International Convenant On Civil and Political Rights dan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Manusia, pada Pasal 50 sampai dengan 68 KUHAP dan juga Pasal 15 UU No. 22 Tahun 2022.

Tantangan Perlindungan HAM bagi Klien Dewasa

Pada praktiknya saat ini, pendampingan Klien Pemasyarakatan Dewasa belum diatur lebih lanjut di dalam aturan Undang-Undang ataupun aturan pelaksana melalui Peraturan Pemerintah. Selain itu, belum adanya permintaan dari instansi terkait untuk pelaksanaan pendampingan juga mencerminkan urgensi pendampingan bagi Klien Dewasa oleh Pembimbing Kemasyarakatan belum sepenuhnya disadari oleh aparat penegak hukum lainnya.

Berkaca pada pelaksanaan pendampingan bagi Klien Anak, pendampingan Klien Dewasa akan menjadi salah satu bagian penting dalam upaya perlindungan Hak Asasi Manusia. Upaya tersebut terlihat dari adanya laporan pertanggungjawaban dari pendampingan yang dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini dituangkan di dalam bentuk laporan pendampingan Klien Pemasyarakatan Dewasa sesuai Standar Kualitas Hasil Kerja Pendampingan dan Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Tahun 2019. Laporan tersebut memuat beberapa ketentuan antara lain identitas dari klien pemasyarakatan, tempat dilaksanakannya pendampingan dan isi dari pendampingan yang dilaksanakan. Laporan ini juga akan memuat proses pendampingan dan upaya pemenuhan maupun perlindungan Hak Asasi Manusia di dalamnya, seperti ada/tidaknya kekerasan dan terpenuhinya kebutuhan dasar.

Upaya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Klien Dewasa juga dapat dilaksanakan di setiap tahapan mulai dari praadjudikasi hingga pascaadjudikasi dan bimbingan lanjutan. Jika dalam sistem peradilan pidana anak terdapat mekanisme diversi, upaya pendampingan oleh PK bagi Klien Dewasa dapat menghasilkan sebuah rekomendasi untuk pidana alternatif seperti pidana kerja sosial maupun pidana pengawasan. Selain itu, pendampingan PK dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana juga akan menciptakan sistem yang berkeadilan atau Checks and balances dengan saling mengontrol dan menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara. Kehadiran PK diharapkan bukan hanya memastikan terpenuhinya hak asasi manusia, tetapi juga seluruh proses yang dijalani oleh Klien Pemasyarakatan berjalan sesuai dengan prosedur penegakan hukum pidana dan yang tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia.

Oleh karena itu, pemahaman atas HAM dan upaya penegakannya menjadi penting untuk dikuasai oleh setiap PK dalam menyongsong pelaksanaan pendampingan sesuai UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan KUHP terbaru. Penulis mengajak agar kedua aturan tersebut dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan agar peran PK semakin signifikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mari bersama kita tegakkan HAM bagi Klien Pemasyarakatan, baik Anak maupun Dewasa, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, HAM bukan hanya sekadar sekadar konsep yang tertuang dalam aturan atau buku bacaan, tetapi juga menjadi sebuah manisfestasi dalam sistem peradilan pidana yang dilindungi, dipenuhi, dihormati, serta dijunjungi tinggi di negeri ini.

Red*

Oleh :  VANESSA REGITA ANJANI

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama