Aparat Tidak Boleh Ragu Bertindak Terhadap Ulama Kiminal Perusak Kebangsaan
Penulis : Andi Salim
Anekafakta.com,Jakarta
Jika kita mengacu pada suatu hak untuk berbicara atau berpendapat secara bebas tanpa ada pembatasan, maka hal itu tentu merujuk pada UUD '45 pasal 281 ayat 4, Disana kita akan menemukan kepastian hukum yang menjadi pijakan bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk memperolehnya. namun masih banyak terjadi pelanggaran HAM yang justru menjadi polemik dibalik penerapan hak Kebebasan berpendapat yang merupakan salah satu penerapan fungsi HAM yang bertabrakan dengan hak azasi orang lain yang bersifat publik.
Banyak sekali orang-orang yang mengeluarkan pendapat di media sosial namun berujung di pengadilan. Padahal mereka dikatakkan hanya mengeluarkan pendapatnya. Sesungguhnya mengeluarkan pendapat secara bebas tetap harus mempertanggung jawabkan pendapatnya jika mengarahkan kebebasan tersebut kepada pihak orang lain atau publik dalam bentuk tuduhan dan pencemaran nama baik.
Kebebasan mengeluarkan pendapat tidak boleh merugikan orang lain atau siapa pun. Hal itu harus menjadi perhatian tersendiri agar rambu-rambu ini tidak terlanggar hanya karena seseorang memanfaatkan Hak kebebasan berpendapat itu yang kemudian dipertanggung jawabkan secara hukum dan menjadi wilayah penegakan hukum pula agar tidak terjadi pelanggaran HAM terhadap privacy publik atau pribadi orang lain.
Terdapatnya kata hasutan yang menjadi ruang multitafsir untuk menentukan batasannya, bisa menyasar orang atau kelompok tertentu yang hanya mengajak untuk memeluk keyakinan tertentu, disamping itu, apa yang menjadi tempat penyampaian hasutan tersebut menggunakan sebutan dimuka umum pun dapat serta merta menjadi delik yang harus diuraikan lebih jauh pula, sebab ada 2 wilayah umum pada pengertian tersebut.
Jika penyampaian pendapat itu disampaikan didalam lingkungan tempat ibadah yang notabenenya ruang private sebagai sifat kekhususan seperti mesjid, gereja atau vihara dan lain sebagainya, maka akan berbeda dengan penyampaian dimuka umum dengan apa yang dimaksudkan kepada tempat-tempat umum sebagaimana diluar tempat ibadah diatas seperti kantor-kantor pemerintah, pasar atau tempat-tempat dimana menjadi wilayah umum dalam artian yang seluas luasnya.
Sebab pemahaman umum dalam pengertian tempat ibadah seringkali digunakan sebagai upaya penyampaian hasutan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah positif yang seringkali ditujukan kepada ajakan atau seruan yang semestinya lebih menguatkan keimanan para pemeluk agamanya, namun hal itu tampak berbeda jika seseorang menyampaikannya pada tempat-tempat umum sebagaimana penulis sebutkan diatas untuk dijadikan aksi politik seseorang.
Perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki oleh para penghasutnya. Maka dengan demikian dalam delik penghasutan itu terdapat dua subjek didalamnya yang sepatutnya dipahami, yaitu orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut, sehingga penggunaan pasal penghasutan sebagaimana pasal 160 dalam Undang-undang KUHP perlu direspon dan dievaluasi lebih dalam.
Dari kenyataan ini, maka penggunaan hasutan dan ancaman bagi pelaku syiar agama yang menyerukan ketaqwaan dan ketaatan bagi umatnya, adalah hal yang tetap harus dipertahankan. Sedangkan dalih penghasutan dimuka publik diluar ruang keagamaan atau merupakan wilayah umum, tentu bertentangan dengan hukum negara dan HAM dari setiap warga negara. Sebab sering hal ini menjadi rancu pada penggunaan dan kedudukannya, yang tentu saja harus dicermati dan dievaluasi baik mengenai tempat, waktu dan situasinya.
Apalagi saat ini, terdapat pihak yang memanfaatkan sarana keagamaan yang dijadikan muatan politik serta menjadi sumber politik identitas, adalah bentuk penyimpangan dari ruang keagamaan yang menyalahi aturan. Sehingga masuknya nuansa politik menjadi memperkeruh dan dimanfaatkan oleh oknum agama tertentu untuk dijadikan sebagai sarana untuk merebut kekuasaan, tentu harus ada upaya yang mengatur batasan ini agar ruang-ruang yang sakral tidak dicampur adukkan dengan ruang politik.
Seringnya pemutar balikan fakta kejadian untuk menghindari jeratan hukum, maka hal itu menyudutkan seolah-olah negara telah menjadi biang keladi sebagaimana tuduhan sekelompok orang yang menuding seakan-akan negara telah berlaku zdolim terhadap ulama, dengan tuduhan melakukan kriminalisasi ulama untuk menggiring opini publik agar mendeskreditkan pemerintah dan telah merekayasa aksi fitnah untuk menjatuhkan nama baik seorang ulama. Hal ini terus didengungkan agar masyarakat mempercayai sumber pemberitaan tersebut.
Negeri ini sungguh harus dijaga dari tangan-tangan mereka yang berambisi kepada kedudukan dan keserakahan dari orang-orang yang munafik untuk mengaburkan identitas bangsa dan dengan sengaja menjadikan kitab suci sebagai rivalitas ideology guna memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI, maka sudah sepatutnya kesadaran ini dibangun dan ditanamkan ulang bagi segenap generasi muda. Tindakan hukum tidak menjadi boleh surut menyentuh mereka secara tegas, walau mereka saat ini berlindung dari sebutan kriminalisasi ulama yang sengaja diserukan.
(D.Wahyudi)
Posting Komentar