Ahli Pidana Asst.Prof.Dr.Dwi Seno, Angkat Suara Terkait Penetapan Tersangka Presdir PT. Anisa Bintang Blitar
Anekafakta.com,Bekasi
Kasus Dugaan Tindak Pidana penggelapan dan penipuan yang berujung Penetapan tersangka oleh Polres Metro Bekasi Kota menuai Polemik dan tanggapan dari Insan hukum, khususnya Pengacara Terlapor.
Disampaikan oleh Advokat H.M.Bambang Sunaryo, SH.,M.H kepada awak media bahwa pada intinya,perkara ini menurutnya merupakan serangkaian peristiwa hukum perdata.
Sebagaimana diketahui bahwa Laporan Polisi Nomor : LP/B/701/III/2023/SPKT/RESTRO BEKASI KOTA, Tertanggal 07 Maret 2023 dalam perkara ini dimana telah ada penetapan tersangka Nomor : S.TAP/178/VII/2023/RESKRIM, tertanggal 03 Juli 2023 yang dilakukan oleh Penyidik Polres Metro Bekasi Kota.
"Menurut pandangan kami, terkait penetapan tersangka ini, kami menduga adanya dugaan cacat formil dan tidak terpenuhi unsur-unsur materil tindak pidana penipuan dan penggelapan dengan asalan sebagai berikut :
1. Bahwaa klien kami merupakan soerang pengusaha yang menjabat sebagai Presiden Direktur PT.Anisa Bintang Blitar dimana pada sejatinya korelasinya dengan perkara ini adanya jalanin aktifitas bisnis antara klien kami dengan pelapor, hal tersebut merupakan serangkaian peristiwa hukum perdata dan bukan kualifikasi tindak pidana, dibuktikan dengan fakta hukum bahwa adanya gugatan perdata yang sedang berproses di Pengadilan Negeri Bekasi, inilah yang harus diperhatikan oleh penyidik, dengan adanya sengketa hukum pidana dan perdata seharusnya perkara pidananya ditangguhkan menunggu putusan perdata.
2. Bahwa berdasarkan obyek perkara yang sedang bergulir dengan obyek kerugian sebesar 2.5 milyar, namun kerugian yang dimaksud dalam konteks ini merupakan kerugian kerugian yang timbul dalam ranah perdata bukan pidana, juga perlu diketahui klien kami telah melakukan pengembalian uang sebesar Rp. 1.9 Milyar ditambah dengan pengembalian Rp. 200,jt + Rp.500,jt, " Justru ada kelebihan bayar 100jt oleh klien kami kepada pelapor, seharusnya penyidik melihat substansi permasalahan hukum ini dengan obyektif berdasarkan koridor hukum yang benar.
3. Bahwa Kami menduga adanya dugaan pelanggaran etik dan Ketidak profesionalan penyidik dalam melakukan proses hukum terhadap klien kami, dibuktikan dengan dugaan bahwa klien kami tidak diberikan hak nya untuk menghadirkan saksi-saksi yang meringankan yang dapat menjelaskan duduk persoalan hukum ini dengan terang dan jelas, belum diperiksa saksi saksi yang kami hadirkan tiba tiba telah ada penetapan tersangka, inilah yang menimbulkan kejanggalan bagi kami atas sikap dan tindakan penyidik yang merugikan klien kami, dan kami akan laporkan hal tersebut pada unit Propam.
4. Bahwa dalam waktu dekat kami akan bersurat guna melakukan Permohonan Gelar Perkara khusus pada Wassidik DITRESKRIMUM POLDA METRO JAYA untuk menguji secara obyektif penetapan tersangka terhadap klien kami agar perkara ini menjadi terang dan jelas" ucap Advokat H. Naryo
Sementara saat dimintai pendapat hukum nya oleh para pewarta terkait kasus tersebut, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Asst. Prof. Dr.Dwi Seno Wijanarko, SH.,MH.,CPCLE., CPA berpendapat bahwa penyidik terlalu dini menetapkan terlapor menjadi tersangka.
Dikatakannya dalam perkara ini berdasarkan informasi dan fakta hukum yang saya peroleh dari pengacara tersangka, saya berpendapat bahwa terlalu dini penyidik menetapkan terlapor menjadi tersangka dan mengesamping hak-haknya,
Tindakan Aparat Penegak Hukum (APH) yang melakukan penegakan Hukum justru tidak sejalan dengan hukum. Khususnya hukum acara, maka perbuatan yang demikian diluar negeri kita kenal "Miranda Rule" Sementara di indonesia pelanggaran Hukum acara (KUHAP) Pelanggaran formil, Maka Proses hukum tersebut disebut Cacat demi hukum.
Proses Penetapan tersangka juga harus dijalankan berdasarkan due proses of law. Due Proses of law Merupakan sebuah proses hukum yang dijalankan berdasarkan dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan hukum dan asas keadilan, Due proses of law berfungsi untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya dengan menjalankan penegakan hukum mulai pelaporan, penyelidikan, penyidikan sampai dinyatakan P21 oleh JPU lalu penuntutan dan dilimpahkan ke persidangan dengan menjalankan hukum sesuai KUHAP dan aturan hukum yang berlaku.
Hal tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Artinya segala sesuatu nya harus dijalankan dengan koridor hukum yang benar.
Maka apabila proses hukum tidak dijalankan berdasarkan due proses of law mengakibatkan proses hukum tersebut cacat hukum. mengapa demikian ?
"Pada dasarnya sasaran akhir dari sistem peradilan pidana adalah due process of law, yaitu sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan yang substantif.
Menurut pendapat saya proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa, termasuk hak untuk menghadirkan alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, bukti surat dan lain-lainnya demi kepentingan hukum terduga pelaku itu sendiri untuk mewujudkan Asas Praduga tidak bersalah, apabila hak-hak yang melekat pada diri terduga pelaku/tersangka tidak diindahkan oleh Aparat Penegak Hukum dimana dalam hal ini adalah penyidik, maka hal tersebut dapat dipandang telah mencidera keadilan itu sendiri dan tidak menjalankan fungsi Due process of law yang merupakan perwujudan dari sistem peradilan pidana yang benar-benar menjamin, melindungi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia.
Apabila due proses of law nya tidak dilalui dengan benar, maka apabila penetapan tersangka melanggar KUHAP, ahli berpendapat penetapan tersangka tersebut menjadi cacat hukum dan berakibat batal demi hukum"jelas Asst. Prof. Dr. Dwi Seno di Kampus Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, pada 11/09/2023
Lebih lanjut Dosen pengajar Hukum acara pidana itu menyampaikan, Bahwa Merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), nomor. 1 tahun 1956 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), nomor. 4 tahun 1980, mengenai 'Asas Prejudice Ghesil' yang tertuang pada perma no. 1 tahun 1956 yang menerangkan jika ada dua perkara yang bersamaan karena adanya perkara perdata dan perkara pidana Maka, harus mengedepankan perkara perdata terlebih dahulu guna suatu kepastian hukum tentang hak keperdataanya sementara perkara pidananya haruslah di tangguhkan terlebih dahulu, tidak boleh menegakan hukum dengan cara bertentangan dengan hukum, saya mendukung tindakan pengacara Tersangka melalukan upaya gelar perkara khusus pada Wassidik DITRESKRIMUM POLDA METRO JAYA agar menjadi terang dan jelas penerapan hukumnya" Tutup Asst. Prof. Dr. Dwi Seno. ( Red )
Sumber :
Advokat H.M.Bambang Sunaryo, SH.,M.H.
DSW Lawfrin & Partner
Posting Komentar