Proyek Lanjutan Mako Brimob Sulut, Petani Kalasey II Makin Termajinalkan


Proyek Lanjutan Mako Brimob Sulut, Petani Kalasey II Makin Termajinalkan

KALASEY – 

Warga Petani Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, nasibnya kini makin termajinalkan atau terpinggirkan menyusul adanya rencana pembangunan lanjutan markas komando brigade mobil (Mako Brimob) kepolisian daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut).


Sebelumnya, warga petani desa tersebut telah terkena imbas akibat kebrutalan sejumlah oknum Brimob dan Polisi Pamong Praja (Pol-PP), saat mengeksekusi lahan mereka berkaitan dengan pembangunan gedung politeknik pariwisata (Peltekpar), pada 7 November 2022.

Kecemasan warga itu terlihat setelah pihak pengembang menurunkan beberapa alat berat jenis eskavator di lokasi proyek pembangunan, serta penancapan baliho yang bertuliskan 'Dilarang masuk kawasan Mako Brimob  karena merupakan tempat latihan Mako Brimob'.

Akibatnya, baliho dengan kesan intimidasi membuat sebagian warga petani  pemilik tanah enggan melakukan perlawanan dan hanya mewakilkan ke rekan-rekan mereka.

Warga mengatakan, keenganan mereka berada di lokasi tersebut lantaran trauma dengan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melukai sejumlah pemilik lahan.

Seperti dituturkan Refly Sanggel, juru bicara warga petani korban eksekusi pertama, kalau pemilik lahan tidak menginginkan adanya kekerasan untuk kedua kalinya. Warga kata dia, telah trauma dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum kepolisian Brimob maupun Pol-PP.

Menurut Refly, dia bersama rekan-rekannya berada di lokasi pembangunan semata-mata untuk mencegah kelanjutan pembangunan Mako Brimob dan gedung Rektorat Poltekpar, karena belum terbayarnya ganti rugi secara merata oleh pihak pengembang.

"Kami kuatir jika pembangunan tetap dilanjutkan, sementara ganti rugi terhadap pemilik lahan diabaikan. Kami hanya menuntut hak mengingat lahan yang telah ada bangunan fisiknya merupakan milik kami yang dikelola bertahun-tahun secara turun-temurun," tutur Refly.

Ditandaskannya, mereka tidak menginginkan jika terus menjadi korban dari kebijakan-kebijakan pengambil keputusan. Mestinya tambah dia, pemerintah Provinsi Sulut mempertimbangan dan memiliki rasa keadilan dan kemanusiaan karena telah merampas hak-hak masyarakat.

Sementara kuasa hukum warga Desa kalasey II korban pelanggaran HAM, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH MK.n dan Hanafi Saleh SH, menandaskan, pengosongan lahan tak dapat dilakukan sepanjang tidak adanya kesepakatan ganti rugi.

Ganti rugi kata keduanya wajib hukumnya dilakukan berdasarkan sejarah atau latar belakang kepemilikan tanah. Itu sebabnya tambah Santrawan dan Hanafi, masalah tersebut harus dipertimbangkan kembali agar tidak menimbulkan polemik yang lebih besar.

"Tidak mungkin warga mempertahankan haknya sebagai pemilik lahan kalau tidak ada cikal-bakal kepemilikan lahan. Kami bedua kembali menegaskan kepada Pemerintah Provinsi Sulut dan pemerintah desa (Pemdes) Kalasey II bersikap lebih bijak karena yang tertindas ada adalah masyarakat yang menginginkan keadilan," tandas keduanya.

Pantauan ANEKAFAKTA.COM terlihat sejumlah warga berupaya menghalangi jangan sampai lahan mereka dieksekusi. Warga terlihat kompak menghadang setiap oknum baik sipil maupun aparat keamanan yang dicurigai akan melakukan hal-hal yang merugikan.


Warga sendiri saat melakukan aksi tersebut tidak menggunakan senjata tajam atau alat-alat berbahaya lainnya. Mereka hanya membekali diri dengan topi dan tolu (topi khas petani-red). Selain itu warga juga tidak melakukan aksi-aksi yang menjurus pada tindakan atau perbuatan anarkis. 

(Arthur Mumu/Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama