Bubur Ayam : Antara Fakta dan Ilusi
Anekafakta.com,Tangsel
Oleh Tubagus Solehudin, Ketua Klub Study Islam dan Politik (KSIP)
Dipinggir jalan sambil minum kopi, saya tidak sengaja menatap tukang bubur ayam sedang melayani pembeli. Beliau begitu sigap memenuhi permintaan para pembeli. Harganya cukup terjangkau. Mulai dari harga 5000 maksimal harga 10.000 rupiah. Tanpa mengurangi racikan. Hanya porsi saja yang beda.
Menariknya buat saya, koq namanya Bubur Ayam? Padahal ayam yang sudah disuwir hanya menjadi pelengkap doang. Bahan dasarnya ya bubur berbahan beras. Ditambah bumbu-bumbu lainnya.
Saya Berfikir atas dasar apa tukang bubur itu menamakan dagangannya "Bubur Ayam". Saya berfikir lagi, Wah jangan-jangan ini merupakan "penipuan" kepada pembeli. Sebab saya fikir, faktanya tidak sesuai. Buburnya berbahan beras tapi dinamakan "bubur ayam". Ini pasti ada kesalahan atau kekeliruan dalam berfikir. Atau ada "niat" "penipuan" terhadap pembeli.
Namun mengapa pembeli tidak ada yang bertanya-tanya apalagi protes. Loh koq bubur beras? Bukan Bubur Ayam? Padahal akang bilang Bubur Ayam? Kira-kira begitu.
Sepanjang saya amati, hingga detik ini para pembeli atau penikmat bubur ayam tidak ada yang protes. Nrimo saja meskipun faktanya tidak sesuai. Padahal itu sudah berlangsung puluhan tahun.
Hal ini berbeda dengan Penjual "Bubur Kacang Ijo Ketan Item". Atau Bubur Sumsum. Antara nama dan faktanya sama. Sesuai. Wajar kalau kita juga tidak protes atau otak kita nerima.
Namun untuk "kasus" "Bubur Ayam" ini sangat berbeda dan spesial. Antara Nama dan Faktanya berbeda. Tapi Otak pembeli nerima dan tidak protes. Saya berfikir, hebat sekali orang atau penjual yang pertama kali menjual Bubur Ayam. Meskipun Antara Nama dan Fakta berbeda. Hebatnya, Bubur Ayam sekarang menjadi makanan rakyat yang sangat populer.
Tidak ada yang protes, tidak ada yang bertanya. Walau sebenarnya Bubur Ayam itu adalah Bubur berbahan beras. Ayamnya di suwir ditambahin sedikit ke buburnya. Antiknya, namanya langsung berubah total.
Saya Berfikir, apakah sesuatu itu yang sudah lumrah dan diterima oleh kebanyakan orang bisa menjadi "kebenaran". Apakah kebenaran itu terjadi karena adanya pemakluman?
Seperti kasus "bubur ayam" yang menggelitik pikiran saya ini.
Red/anekafakta.com
Posting Komentar