Sesali Pengukuran Lahan Kalasey, Santrawan–Hanafi: Ini Pelecehan Terhadap Proses Pidana



Sesali Pengukuran Lahan Kalasey, Santrawan–Hanafi: Ini Pelecehan Terhadap Proses Pidana


"Beredar kabar pemilik lahan diundang ke salah satu rumah makan di kawasan Bahu Mall, Jumat (21/07/2023) malam. Diduga kuat mereka diundang pihak Poltekpar, Pemerintah Kecamatan Mandolang dan Pemdes Kalasey II, membicarakan pengukuran lahan secara sembunyi-sembunyi".


Kuasa hukum korban penggusuran lahan Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH M.Kn dan Hanafi Saleh SH, menyesalkan tindakan Pemerintah Kecamatan Mandolang, Pemerintah Desa (Pemdes) dan pengelola proyek Politeknik Pariwisata (Poltekpar) yang melakukan pengukuran di lahan tersebut, Sabtu (22/07/2023). 

Harusnya kata keduanya, pemerintah dan pihak Poltekpar menghormati proses hukum terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melibatkan oknum polisi dan Polisi Pamong Praja (Pol-PP), dimana kasusnya masih ditangani penyidik kepolisian daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut).

Santrawan dan Hanafi juga mengatakan kalau pengukuran tersebut merupakan bentuk pelecehan terhadap proses pidana yang sementara berlanjut. Dengan begitu, apa yang dilakukan itu tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan secara hukum.

"Kami menduga pengukuran itu tidak melampirkan syarat administrasi yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pemerintah, pengelola proyek (Poltekpar-red) dengan warga sebagai pemilik lahan," ujar kedua pengacara, panggilan akrab Santrawan dan Hanafi.

Tindakan tersebut lanjut keduanya, berkaca pada pengukuran tahap satu yang berimbas tidak terbayarnya ganti rugi kepada warga secara keseluruhan. Terbukti kata keduanya, hingga kini janji ganti kepada seluruh pemilik lahan tidak pernah diberikan. 


Kalau pun ada pembayaran itu hanya kepada pemilik lahan tertentu. Dasar inilah kami berdua menduga ada rencana terselubung, baik oleh pemerintah kecamatan, pemerintah desa maupun pengelola proyek untuk mengambil keuntungan sepihak.

"Ujung-ujungnya warga juga yang menjadi korbannya, karena janji ganti rugi tidak kunjung diberikan. Warga jangan lagi diiming-iming oleh janji akan diberikan ganti rugi kalau akhirnya tidak juga diberikan. Mereka itu jangan menari-nari di atas penderitaan orang lain," ketus kedua pengacara senior itu dengan mimik serius.      

Sementara suasana pengukuran di lahan yang bakal dibangun gedung Rektorat Poltepar, mendapat protes penolakan dan perdebatan. Mereka mendesak pemerintah desa dan pihak Poltekpar segera menyelesaikan ganti rugi kepada petani yang lahannya tergusur pada proyek tahap satu.  

Doni Songke, warga petani korban penggusuran tahap satu saat melakukan protes mengingatkan pihak Poltekpar, pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) bersikap adil serta tidak mementingkan pihak-pihak tertentu.

"Saya ingatkan semua pihak pengukur, jangan pura-pura lupa dengan peristiwa 7 November 2022, dimana yang terjadi adalah eksekusi liar karena hanya berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukannya Pengadilan Negeri (PN)," teriak Doni.

Sebaliknya Ketua BPD Kalasey II, Ronny Takasili, menanggapi protes Doni dengan mempersilahkan warga menggugat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut terkait kepemilikan lahan tersebut.

Spontan pernyataan Ronny itu melahirkan emosi warga. Mereka mengatakan, pernyataan yang disampaikan Takasili itu tidak layak dilontarkan Ketua BPD karena tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) nya hanya untuk mencarikan solusi, bukannya membahas legalitas status tanah.

"BPD harusnya menempatkan posisi pada porsinya, bukannya menjual nama Olly Dondokambey sebagai Gubernur Sulut. BPD itu adalah wakil warga di pemerintahan desa, sehingga jika ada masalah atau gejolak di masyarakat, BPD yang harus menjadi penengahnya. 

Kecuali itu warga menyesali dengan sikap lima rekan mereka yang menyetujui lahannya dilakukan pengukuran. Menurut warga, mestinya pengukuran tersebut ditolak sepanjang tidak ada kesepakatan nilai ganti rugi.

Lain halnya dengan tujuh petani lainnya menyatakan menolak lahan mereka dilakukan pengkuran. Mereka mengatakan akan membolehkan lahan mereka diukur jika penyelesaian ganti rugi tahap satu telah dilunasi kepada warga lainya yang menjadi korban penggusuran. 

(Arthur Mumu/Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama