Kletua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke: *DPR RI Bukan Cuma Sarang Koruptor Tapi Juga Sarang Mafia Tanah



JAKARTA,Targethukum.com - ||
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, mengatakan bahwa; DPR RI bukan cuma sarang koruptor, tapi juga terindikasi kuat telah menjadi sarang para mafia tanah. 

Pasalnya, beberapa kasus sengketa pertanahan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, didalangi oleh para oknum yang saat ini justru duduk sebagai anggota DPR RI. Salah satunya adalah; Sihar PH Sitorus (putra almarhum DL Sitorus) yang diduga kuat telah mencaplok tanah milik bapak Legiman Pranata.

Hal tersebut disampaikan Wilson Lalengke kepada jaringan media massa di seluruh Indonesia dan luar negeri, saat ditanyakan pendapatnya terkait adanya kasus sengketa lahan di Deli Serdang, Sumatera Utara, antara Legiman Pranata dan Sihar PH Sitorus. 

"Dari berbagai data dan informasi yang dilaporkan Legiman Pranata (korban mafia tanah), saya melihat ada peran kuat Sihar PH Sitorus dalam proses rekayasa dan pemalsuan berbagai data untuk menguasai tanah yang disengketakan ini. Karena Sihar PH Sitorus adalah anggota DPR RI dari Partai PDI-P, maka wajar saja publik beranggapan bahwa DPR-RI telah menjadi sarang mafia tanah, demikian juga PDI-P, tempat bercokolnya oknum mafia tanah," ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, Senin (17/7-2023).

Satgas Mafia Tanah yang di gadang-gadang akan mampu memberantas mafia tanah, yang ditegaskan saat dibentuk Presiden Jokowi untuk mengatasi kejahatan para mafia ternyata tidaklah berfungsi sesuai harapan. 

Bahkan team pemberantas mafia tanah tersebut, justru hanya dipandang sebelah mata dan jadi olok-olok oknum mafia yang ada di BPN Deli Serdang, Sumatera Utara, tempat penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) ganda di atas lokasi yang sama. Masing-masing atas nama Sihar Sitorus (bukan Sihar P.H. Sitorus), dan atas nama Legiman Pranata. Jadi bila animo masyarakat menjadi miring atas kehadiran Satgas Mafia Tanah, tentunya tidak perlu heran. Sebab sangat mungkin, Satgas Mafia Tanah ini dibuat bukan untuk memberantas mafia tanah, tapi justru sebaliknya untuk menjadi pelindung para mafia tanah, seperti salah satunya Sihar PH Sitorus. Pasalnya, berdasarkan fakta dilapangan, kejanggalan yang teramat jelas terlihat di BPN Deli Serdang, terkait peta GPS satelit yang diduga kuat telah diubah alias di sulap oleh oknum BPN. 

Buktinya, ketika diakses pada bulan Agustus 2022 yang muncul adalah; Peta Lahan SHM Nomor 477 atas nama Sihar Sitorus, seluas 11.888 meter persegi yang diterbitkan pada 19 Februari 2007. Namun anehnya lagi dan bahkan bin ajaib, di peta GPS tersebut tidak muncul Nomor Induk Buku (NIB). Padahal, data peta GPS yang sama, di lokasi tanah yang sama, saat diakses pada sekitar tahun 2018, tertera informasi tanah tersebut jelas atas nama pemilik aslinya; Legiman Pranata, dengan SHM Nomor 655, luas lahan 8.580 meter persegi, NIB 00635, yang diterbitkan tanggal 26 Desember 2012.


Sebagaimana diketahui, bahwa; salah satu persyaratan untuk penerbitan sertifikat tanah dari BPN, adalah Surat Pelunasan Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan Tahunan (SPPT PBB) dan untuk memenuhi persyaratan itu, Legiman Pranata mengajukan permohonan Nomor Obyek Pajak (NOP) pada Mei 2012, tidak lama setelah membeli tanah yang disengketakan itu dari warga bernama Jamaludin. Hasilnya, Legiman Pranata wajib membayarkan PBB dengan NOP 12.10.230.010.001-0183.0 itu sejak 2006 s/d 2012 alias 7 tahun, sebesar Rp. 38.565.815,-  Bahkan, tagihan PBB itu masih terus berlanjut dibayarkan oleh Legiman Pranata hingga tahun 2019.

Yang jadi pertanyaan, kata Wilson Lalengke, pertama adalah; bagaimana mungkin SHM Nomor 477 dapat diterbitkan atas nama Bintang Sitorus, SE (pemilik awal sebelum dijual ke Sihar PH Sitorus – red) oleh BPN Deli Serdang tanpa melampirkan syarat SPPT PBB tahun 2006 dan 2007 atas lahan yang disertifikatkan itu? Pertanyaan kedua; apakah mungkin obyek pajak yang sama alias NOP yang sama bisa dibayarkan PBB-nya oleh dua pihak yang berbeda setiap tahunnya hingga 2019 ?!

"Terdapat beberapa kemungkinan atas SHM Nomor 477 milik Bintang Sitorus yang dipindah-tangankan kepada Sihar Sitorus (sesuai nama di sertifikat - red). Pertama, SHM itu palsu, dibuat tanpa sepengetahuan atau melibatkan BPN. Kemungkinan kedua, Sihar PH Sitorus and the genk berkolusi dengan BPN untuk merampas tanah Legiman Pranata melalui penerbitan SHM Nomor 477 di obyek yang sama, yang sudah bersertifikat SHM Nomor 655, dan untuk menerbitkan SHM Nomor 477 itu, tentunya diperlukan data-data pendukung, yakni Akte Jual Beli (AJB) dan lain sebagainya, sehingga hampir dipastikan itu semua diadakan melalui proses pemalsuan dokumen," papar Wilson Lalengke yang merasa sangat prihatin terhadap ulah serta kelakuan sewenang-wenang orang berduit terhadap warga negara yang lemah ini.

Sementara fakta lainnya, dalam SHM Nomor 477 tertera nama pemilik awal Bintang Sitorus, SE. Dari pemilik awal ini, sertifikat kepemilikan tanah beralih kepada Sihar Sitorus, bukan Sihar PH Sitorus. 

Berdasarkan keterangan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, diketahui bahwa Sihar Sitorus adalah pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) 1271171207660002, tempat dan tanggal lahir di Rantau Prapat, 12 Juli 1966. Sementara dari Kantor Dukcapil yang sama, dijelaskan bahwa anak pengusaha sawit DL Sitorus yang merupakan anggota DPR RI itu bernama Sihar PH Sitorus, yang juga pemegang KTP dengan NIK 3173021207680004, tempat dan tanggal lahir di Jakarta, 12 Juli 1968.

"Dari data dan fakta tersebut nyaris dapat dipastikan, bahwa oknum anggota DPR RI dari Partai PDI Perjuangan itu memiliki NIK ganda alias KTP ganda. Disamping nama pada kedua KTP-nya berbeda, juga NIK-nya berbeda pada KTP satu dengan lainnya, plus juga berbeda tempat kelahirannya, Jakarta dan Rantau Prapat. Menurut hukum yang berlaku, Kepemilikan KTP ganda adalah; merupakan tindak pidana! Sebagaimana hal tersebut diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan tentang KTP ganda yang menegaskan pada Pasal 63 ayat (6) bahwa setiap orang atau penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP. Sanksi atas pelanggaran ketentuan ini diatur pada Pasal 97 yang menetapkan bahwa setiap penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25 juta," beber lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, itu.

Sehubungan dengan kasus perampasan dan penguasaan tanah oleh mafia tanah tersebut, Wilson yang dikenal gigih memperjuangkan warga terzolimi ini, mendesak agar DPR RI segera berbenah diri, serta memiliki integritas dengan memproses oknum-oknum anggota DPR RI yang bermasalah. 

"Saya mendesak DPR RI sebagai representase Rakyat Indonesia, untuk secara serius segera menyikapi persoalan ini dan memproses serta memberikan sanksi tegas terhadap anggotanya yang terindikasi kuat melakukan tindak pidana dan praktek mafia tanah," pungkas Wilson yang dikenal juga sebagai Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu mengakhiri pernyataan nya.

*(Tim/FC)*

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama