Petani Kalasey II Sesali Pernyataan Kepel, Santrawan-Hanafi : Pemprov Sulut Jangan Pengecut, Bicara yang Benar
MANADO
Warga Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, menyesali pernyataan sekretaris daerah provinsi (Sekdaprov) Sulawesi Utara (Sulut), Steve Kepel, di salah satu media massa lokal di Manado, Selasa (30/05/2023).
Selain itu warga juga mempertanyakan sikap pengelola podcast yang membatalkan kehadiran warga Desa Kalasey II pada program tersebut. Sebelumnya kata mereka, pengelola telah menjadwalkan namun akhirnya mengurungkannya tanpa alasan jelas.
Warga mengatakan, pernyataan yang disampaikan Kepel dalam program podcast 'Mengurai Benang Kusut Tanah Kalasey' terkesan 'asal bunyi' dan sepihak, karena tidak didasari pada aturan baku serta sejarah tanah.
Dasar itulah warga mendesak Kepel duduk bersama mereka membahas kembali masalah tersebut, sehingga tidak menimbulkan gagal paham atau pandangan miring publik.
Warga juga mengatakan kalau Kepel tidak memiliki bukti konkrit karena baru menjabat beberapa bulan. Selain itu warga menilai pernyataan Sekdaprov itu, tidak menceminkan seorang pemimpin.
"Padahal kami berharap Pemprov Sulut melalui Sekdaprov dapat mengedepankan rasa keadilan, bukannya mengobok – obok apa yang telah diperjuangkan warga selama berpuluh –puluh tahun. Kalau cara Pemprov Sulut seperti itu, jelas telah mengurangi rasa simpati dan kepercayaan kami (warga-red) kepada pemerintah daerah," ketus warga.
Kecuali itu mereka juga mempertanyakan sikap Pemprov Sulut yang mengabaikan nasib warga pasca terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat eksekusi di lahan seluas 225 hektare, 7 November 2023.
Nara sumber dari warga, Refli Sanggel, mengatakan, dirinya tidak sepaham dengan pernyataan Kepel terkait legalitas Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 13 Tahun 2019 sebagai perpanjangan SHP 01 Tahun 1982 seluas 225 hektare.
Disebutkan Refli, Peraturan Pemerintah (PP) dimana tanah eks erfpacht/Hak Guna Bangunan (HGU) adalah objek landeform dan redistribusinya kepada masyarakat yang mendudukinya dengan memprioritaskannya kepada petani.
Dia menjelaskan kalau tanah tanah di Minahasa seluas 2026 hektare termasuk tanah di Desa Kalasey telah ada Surat Keputusan (SK) menteri dalam negeri (Mendagri) Nomor 341 Tahun 1986 yang merupakan produk hukum.
"SK Mendagri tersebut tidak turun sendiri dari langit melainkan melalui proses, seperti kajian, rapat kerja panitia landeform provinsi dan kabupaten yang telah menyetujuinya dan mengusulkannya kepada Kemendagri pada Tahun 1985, yang kemudian ditetapkan pada Tahun 1986," tandas Refli.
Mengenai hibah 21,9 hektare yang dihibahkan Pemprov Sulut kepada Pemdes Kalasey dengan asumsi telah diverifikasi. Dijelaskan oleh sekprov bahwa dalam rangka pemisahan sertifikat tdk ada biaya yg dibebankan kepada warga, kalaupun ada anggaranya maka akan disubsidi oleh pemerintah. Namun realisasi di lapangan justru warga mengeluarkan 300rb/kapling dengan penjelasan pemdes utk biaya pemisahan/PNBP yg ditetapkan oleh BPN Minahasa dng mengeluarkan kode billing dan desa membayar lewat kantor pos Tondano. Kemudian 100 rb/kpling untuk biaya pengukuran yg dilakukan oleh pihak BPN.
"Begitu juga dengan ganti rugi atas tanaman milik warga sejak hibah pertama kali ke brimob sulut tahun 2012 sampai hibah ke poltekpar tahun 2021 petani yang tergusur tidak semua menerimanya, dan beberapa warga yg menerima ganti rugi nilainya sangat kecil" ketus Refli.
Sementara kuasa hukum warga Desa Kalasey II, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH MKn dan Hanafi Saleh SH, mengingatkan Pemprov Sulut jangan menjadi pengecut.
Kedua pengacara kondang itu menandaskan, Pemprov Sulut harus bicara yang benar bukannya menyembunyikan kelalaian dan kesalahan yang berimbas pada kesengsaraan warga petani.
"Kami berdua meminta Pemprov Sulut tidak mengada – ada mengeluarkan pernyataan secara sepihak. Kalau memang benar, kenapa warga Desa Kalasey tidak diundang pada podcast. Mungkin Pemprov Sulut takut boroknya akan ditelanjangi Warga Kalasey," seloroh keduanya.
Dasar itulah keduanya mengimbau warga untuk tidak takut dan selalu mengedepankan kebenaran. Keduanya menandaskan tidak mengenal istilah kebal hukum. Itu sebabnya kata keduanya, siapa bersalah harus dihukum dan yang menang harus dikembalikan hak serta harkatnya.
"Untuk masalah HAM, saya dan Pak Hanafi telah berkoordinasi dengan badan reserse kriminal (Bareskrim) markas besar (Mabes) Kepolisia mon Republik Indonesia (Polri). Jadi warga tak perlu kuatir, kami berdua tetap akan mengawal perkara ini," tandas keduanya.
(Arthur Mumu)
Posting Komentar