Santrawan: Ada Pelanggaran HAM Berat Saat Eksekusi Lahan Kalasey II


Santrawan: Ada Pelanggaran HAM Berat Saat Eksekusi Lahan Kalasey II  




Penasehat Hukum Dr Santrawan Totone Paparang SH MH MKn, mengingatkan masyarakat Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, tidak gentar mengadukan peristiwa penyerobotan lahan disertai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)  pada 7 November 2022, kepada kepala kepolisian daerah (Kapolda) Sulawesi Utara (Sulut).

Selain itu kata Santrawan, dirinya akan meminta Kapolda Sulut  inspektur jenderal (Irjen) Pol Setyo Budiyanto, melakukan audens sebagai langkah untuk menuntaskan peristiwa tersebut termasuk mengungkap siapa – siapa oknum polisi yang melakukan intimidasi serta kekerasan terhadap warga. 

Santarawan menegaskan, peristiwa dengan klasifikasi pelanggaran HAM berat dan diduga dilakukan sejumlah oknum polisi dan oknum Polisi Pamong Praja (Pol-PP) itu harus dituntaskan karena telah menyalahi prosedur tetap (Protap) Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Nomor 1 Tahun 2010 tentang penganggulangan anarki.

"Masyarakat tidak perlu takut sepanjang berada di jalur hukum yang benar. Indonesia adalah negara hukum. Artinya, aparat keamanan jangan memelintir sesuatu yang benar dan kemudian disalahkan. Kita juga akan menyertakan bukti –bukti kekerasan," tandas Santrawan.

Dikatakannya, masyarakat Kalasey II hanya mempertahankan tanah atau lahan yang mereka garap selama berpuluh – puluh tahun dan secara turun – temurun. Jadi kata dia, sangat wajarlah jika masyarakat mempertahankan apa yang telah menjadi milik mereka.

Imbas dari peristiwa itu, Santrawan menandaskan, dirinya dan Hanafi Saleh SH, akan mendatangi markas besar (Mabes) Polda Sulut untuk mendampingi petani dan masyarakat Desa Kalasey II, mengadukan peristiwa 7 November 2022. 

"Sebanyak 300 orang akan mengadu ke Polda Sulut. Saya bersama Hanafi Saleh dan tim serta teman-teman mahasiswa, akan turun ke jalan mendampingi petani dan masyarakat akan mengadukqn kepada kapolda, wakapolda, dan kepala bidang (Kabid) divisi profesi dan pengamanan (Propam) Polda Sulut, atas pelanggaran HAM tersebut," ketus San.

Menurutnya, Pelanggaran HAM yang diduga melibatkan sekitar seratusan personil anggota Polri itu dilakukan secara membabi buta menembaki warga dengan gas air mata, melakukan intimidasi keras, menghancurkan lahan warga, mengusir warga dari lahan dan memaki - maki warga. 

Tindakan brutal tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan melampaui batas atau tindakan ultra vires dan berakibat melawan hukum dan bertentangan dengan presisi yang dicanangkan Kapolri Jenderal Drs Pol Listyo Sigit Prabowo MSi. 

"Tindakan brutal oknum anggota Polri sangat tidak manusiawi dan meyakiti hati masyarakat. Kami berharap Kapolda Sulut dapat menuntaskan kasus ini, termasuk sidang kode etik. Jika nantinya terbukti dan demi membersihkan nama baik institusi, segera pecat semua anggota Polri yang terlibat, termasuk atasan yang memberi tugas kepada para anggota tersebut. Sedangkan untuk anggota Sat-PoPP akan dilaporkan ke reserse kriminal umum ( Reskrimum) Polda Sulut," urai San, sembari menambahkan dia dan Hanafi Saleh akan berjuang tanpa pamrih membela kepentingan warga Kalasey II sampai di tingkat mana pun dalam melawan kebathilan.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Angkatan 1989 juga menambahkan kalau peristiwa tersebut mengakibatkan beberapa warga mengalami luka memar akibat terkena gas air mata dan benda tumpul lainnya yang ditengarai milik oknum petugas keamanan. Bahkan kata dia, ada beberapa mahasiwa yang ikut membela warga mendapat perlakuan kasar (diseret-red) petugas.

"Dari bukti – bukti inilah, saya akan mendesak Kapolda Sulut menuntaskan peristiwa yang telah menyusahkan kehidupan masyarakat. Saya tidak terima hak – hak masyarakat diinjak – injak hanya untuk kepentingan kelompok – kelompok tertentu yang haus kekuasaan," ketus San, panggilan akrab Santrawan.

Di sisi lain San menyatakan peristiwa tersebut harusnya tidak terjadi jika pemerintah provinsi (Pemprov) Sulut menjalankan sistem hukum di Indonesia. Dikatakan, mestinya sebelum melakukan eksekusi Pemprov Sulut harus mencari bukti dan kebenaran kalau lahan seluas 225 hektare di Desa Kalasey adalah hak mereka dengan status hak pakai.

"Pertanyaannya, kalau benar lahan yang disengketakan milik Pemprov Sulut, kenapa nanti sekarang ini dipermasalahkan. Kenapa pada era kepemimpinan Gubernur – gubernur Sulut terdahulu tidak pernah permasalahkan. Ini  adalah cela yang haurs diluruskan kebenarannya," ujar San.

Lebih mengherankan lagi, kenapa eksekusi dilakukan hanya berdasarkan putusan yang diterbitkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang jelas – jelas hanya menangani perkara administrasi. Perkara di PTUN tidak pernah mengenal eksekusi ril terhadap pengosongan lahan, karena masuk dalam domain Pengadilan Negeri (PN). 


(Arthur Mumu/Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama