Peristiwa Mei 1998: Tragedi Kelam Krisis Keuangan, Sosial dan Politik Jelang Soeharto Lengser



Peristiwa Mei 1998: Tragedi Kelam Krisis Keuangan, Sosial dan Politik Jelang Soeharto Lengser




Pengungkapan Kerusuhan Mei 1998 secara menyeluruh merupakan utang sejarah bangsa Indonesia. Karena peristiwa memilukan tersebut telah menelan ribuan korban jiwa. Peristiwa itu menggoncang dunia dan mencoreng keberadaan bangsa Indonesia.


Bagaimana tidak, Indonesia yang dikenal sebagai negara yang aman dengan penduduknya yang ramah, mendadak sebagian masyarakatnya berubah menjadi brutal dan melakukan tindakan-tindakan yang mengerikan.


Peristiwa tersebut sudah 25 tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu ternyata tidak membuat orang lupa dengan kejadian yang memilukan itu. Kerusuhan Mei 1998 menjadi sebuah titik kelam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Korban jiwa berjatuhan mencapai ribuan orang. Kerugian materi, fisik maupun psikis sama sekali tidak dapat dihindari. Peristiwa tersebut telah membuat Indonesia porak poranda. Namun, sampai saat ini tidak terungkap siapa dalang dibalik tragedi tersebut.

Kenyataan ini membuat banyak orang meluapkan opini mereka tentang Mei 1998 yang sampai saat ini masih dipertanyakan kebenarannya.

Ketidakjelasan dalang dibalik kejadian Mei 1998 ini membuat masyarakat, terutama keluarga korban, masih tidak dapat menerima dan terus menuntut ditegakkannya keadilan atas peristiwa berdarah tersebut.

Peristiwa Mei 1998 masih menjadi tanda tanya besar dibenak masyarakat. Peristiwa kelam kerusuhan Mei 1998 menjadi memori kolektif bagi masyarakat Indonesia secara luas, khususnya kalangan aktivis dan etnis Tionghoa di Indonesia.

Krisis keuangan (moneter) yang berkepanjangan yang berdampak luas ke masyarakat karena nilai rupiah terus mengalami terjun bebas dan puncaknya anjlok pada tahun 1997, berkembang menjadi krisis ekonomi lebih parah di Indonesia.

Berkembangnya krisis keuangan menjadi krisis ekonomi tersebut, kemudian melahirkan krisis lain, yaitu krisis sosial dan krisis politik.

Krisis di berbagai sendi kehidupan masyarakat tersebut kemudian kian meluas yang berakhir dengan aksi menuntut Soeharto untuk meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1998.

Perekonomian Indonesia jika diamati sejak 1966 hingga 1996, menunjukkan tren kenaikan ekonomi yang positif. Pada 1966, pemerintah Indonesia bahkan dapat menekan angka kemiskinan yang semulanya sebesar 60 persen menjadi 11 persen.

Hal tersebut juga dibuktikan dengan masuknya nama Indonesia bersama dua negara Asia Tenggara lainnya, dalam New Industrialized Economies (NIEs) yang dirilis Bank Dunia pada 1993.

Sangat disayangkan stabilitas ekonomi Indonesia mulai goyah pada 1997, dimana pemerintah tidak mampu mengendalikan krisis moneter yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara.

Krisis moneter pada mulanya telah lebih dulu menyerang negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara, yaitu Thailand pada 1996.

Di Indonesia, krisis moneter mulai terasa dampaknya pada kisaran tahun 1997. Krisis itu kemudian meluas menjadi krisis ekonomi nasional hingga sepanjang 1998.

Pada tahun 1998 krisis ini mengalami titik puncaknya, nilai tukar rupiah mengalami depresi akut mencapai angka 70 persen.

Nilai tukar rupiah pada pertengahan bulan Juli 1998, berada di angka Rp14.700 per 1 dolar US. Nilai tukar rupiah yang terjun bebas ini mengakibatkan inflasi tinggi di Indonesia.

Sepanjang 1991-1996, angka inflasi di Indonesia hanya 8,1 persen, tetapi pada 1998 melejit jauh di angka 77,1 persen.

Ketidakmampuan pemerintah menekan laju inflasi menimbulkan permasalahan krusial dalam masyarakat Indonesia, termasuk mengarah kepada krisis sosial.

Krisis sosial pada fase ini, pada dasarnya, disebabkan oleh masalah krisis ekonomi di awal yang tidak mampu diselesaikan pemerintah Orde Baru.

Akar permasalahan salah satu diantaranya terletak pada kesenjangan ekonomi yang terjadi antara masyarakat pribumi dengan keturunan etnis Tionghoa.

Di tengah krisis ekonomi yang berlangsung tersebut, kemudian santer beredar informasi palsu yang simpang-siur mengatakan bahwa orang Tionghoa menimbun sembako.

Selain itu, informasi liar itu juga mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa telah melarikan uang negara ke luar negeri.

Kabar tersebut semakin diperparah dengan kondisi perekonomian masyarakat terjadi kesenjangan antara etnis Tionghoa yang kala itu cenderung lebih stabil ketimbang pribumi.

Atas dasar itu, beredar asumsi yang tak kalah liar tentang masyarakat Tionghoa yang dianggap sebagai penyebab musibah krisis ekonomi Indonesia.

Lebih jauh lagi, beredar desas-desus yang memojokkan etnis Tionghoa yang dianggap pro Soekarno dan komunisme. Pengkondisian isu tersebut tak ayal membuat banyak orang terhasut dan meluapkan kegeramannya.

Dalam beberapa catatan, masyarakat etnis Tionghoa menjadi sasaran berbagai aksi kekerasan; mulai dari penjarahan, pembakaran, kekerasan fisik, hingga pemerkosaan.

Di berbagai kota besar, mulai dari Medan, Palembang, Jakarta, Solo, dan Surabaya, krisis sosial ini berlangsung mencekam. Puncaknya adalah kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya.

Akibat krisis sosial dan ekonomi ini membuat para aktivis menuntut pemerintah Orde Baru secepat mungkin menyelesaikannya.

Namun, kondisi tak kunjung membaik, bahkan justru semakin memburuk. Alhasil, kondisi tersebut melahirkan krisis kepercayaan di masyarakat Indonesia terhadap pemerintah.

Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, aktivis, politikus, hingga buruh, menuntut Soeharto mundur dan meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI.

Kerasnya tekanan tersebut, apalagi ditambah munculnya perlawanan dari kalangan mahasiswa dengan melakukan aksi-aksi jalanan dan pendudukan Gedung MPR/DPR membuat Soeharto tidak berdaya.


Upaya Soeharto dengan melibatkan beberapa tokoh nasional untuk memperbaiki keadaan juga gagal lantaran banyak tokoh tersebut yang enggan terlibat.

Akhirnya, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Indonesia pada Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka. Posisi presiden kemudian digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.

(Heddt/Irwan)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama