Tragedi dan Turnamen U-20

Tragedi dan Turnamen U-20

Oleh : Satrio Damardjati

ANEKAFAKTA.COM,

Seorang teman menelpon saya dan bertanya mengapa saya tidak buang suara soal Piala Dunia U-20? Persoalan ini memuncak karena dua gubernur, I Wayan Koster dari Provinsi Bali dan Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah, menolak the so-called "Piala Dunia" diselenggarakan di provinis mereka. Alasannya: karena Tim Israel lolos ke final turnamen ini. Mau tidak mau mereka harus datang dan berlaga di Indonesia. 


Saya katakan pada teman saya itu, saya malas menanggapinya. Pertama, karena terlalu banyak politik didalamnya. Kedua, karena soal keamanan. Ketiga, yang terpenting, karena luka dari tragedi sepakbola di Kanjuruhan belum sembuh benar pada diri saya.

Akan tetapi diskusi tampaknya menghangat dan saya tergoda untuk memberikan perspektif saya untuk soal ini. 

Dan tentu saja, sikap saya ini dirangsang oleh para elit yang bermanuver untuk menangguk keuntungan dari isu ini. 

Mereka tahu persis bagaimana memanfaatkan kegilaan bangsa ini pada bola. Sekaligus mereka tahu bahwa bangsa ini tidak pernah becus main bola  ini. Bahkan tidak di tingkat ASEAN sekali pun. 

Namun sepakbola adalah olahraga (entertainment tepatnya) paling populer di negeri ini. Banyak orang patah hati karena turnamen ini batal diadakan di Indonesia. 

Saya sendiri sedikit banyak setuju bahwa turnamen ini sebaiknya dibatalkan saja. Banyak orang berargumen, kan memalukan sekali untuk Indonesia? Jawaban saya biasanya: siapa yang peduli sama bangsamu di luar negeri? 

Orang peduli kamu kalau kamu punya kekuatan. Kalau bangsamu tidak punya kekuatan ya ndak banyak orang peduli. 

Lho bukannya turnamen ini adalah soft-power bangsa kita? Lha iya. Tapi bangsamu mengurus keselamatan penonton aja nggak becus, kok ngomong soft-power? 

Pertama, soal politik. Penolakan pertama datang dari Bali. I Wayan Koster menyatakan akan menolak kalau Bali dijadikan tempat pelaksanaan turnamen U-20. Pernyataan dia kemudian disusul oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengeluarkan statemen penolakan. 

Penolakan dua gubernur ini tentu mengejutkan, terutama bagi Presiden Jokowi yang mendukung penuh turnamen ini. Beberapa pertandingan akan digelar di Solo, dimana anak pertamanya Gibran Rakabuming, menjadi Walikota; dan anak bungsunya Kaesang Pengarep menjadi pemilik klub sepakbola lokal, Persis. Yang juga blingsatan adalah Menteri BUMN, Erick Thohir, yang sekarang menjadi Ketua PSSI. 

Kalau penolakan dari Ganjar Pranowo, saya bisa paham. Dia adalah aspiran calon presiden. Dalam politik Indonesia, soal Israel adalah ranjau politik yang ledakannya bisa menghancurkan jalannya ke kursi presiden. 

Tapi Koster? Dia gubernur Bali, sebuah wilayah turistik yang relatif lebih santai dari wilayah Indonesia lainnya. Seharusnya Bali bisa menjadi tempat pertandingan tim Israel. Lagipula, Koster tidak mencalonkan diri jadi presiden. 

Baik Ganjar maupun Koster adalah kader PDIP. Saya tidak bisa tidak menghubungkan mereka dengan politik PDIP. Apakah ada tangan PDIP dibalik pelarangan ini? Kuat dugaan saya disanalah masalahnya. 

PDIP adalah partai nasionalis yang berinduk pada Soekarno, Presiden pertama RI. Soekarno terkenal sikapnya yang pro-Palestina. Itulah yang menjadi fatsoen politik PDIP hingga kini. Secara kebetulan fatsoen ini bertemu dengan kepentingan kelompok-kelompok Islam yang mendukung Palestina dan juga menentang kehadiran Israel disini. 

Sesederhana itukah? Saya kira juga tidak. Saya kira ada faktor lain yang juga bermain, yakni hubungan Presiden Jokowi dengan Ketua PDIP, Megawati. Keduanya saat ini sedang kuat-kuatan menjelang Pilpres 2024. Turnamen ini adalah wajah (image) Presiden Jokowi dan dinastinya. Dalam hal ini, PDIP berhasil merapatkan kedua kadernya pada garis partai dan sikap trasisional partainya. 

Yang kedua adalah soal keamanan. Ini saya kira lebih pribadi untuk saya. Mengijinkan Israel datang ke turnamen ini sama dengan memberikan karcis kepada kelompok-kelompok garis keras. Ini umpan yang baik untuk mereka -- memberikan rasionalisasi mereka melakukan kekerasan. 

Mungkin akan ada yang bilang, lho kan kita ada aparat keamanan? Kok takut sama mereka itu? 

Jawaban saya adalah, kalau Anda mayoritas mungkin tidak akan jadi masalah. Soalnya adalah yang menjadi sasaran adalah kaum minoritas (seperti saya ini). Selama ini sudah terbukti, yang diledakkan itu adalah tempat-tempat ibadah dan umat kaum minoritas.  

Soal ketiga, yang sudah saya singgung di atas adalah soal Kanjuruhan. Ini adalah soal terpenting untuk saya. Ada 134 supoter sepakbola yang meninggal akibat gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan. 

Kasus ini sudah diadili. Hasilnya adalah cermin keadilan di negeri ini. Tidak ada satu pun aparat keamanan yang dijatuhi hukuman. Hakim yang memutus perkara ini menyalahkan arah angin yang menghembuskan gas air mata ke tribun penonton. Ajaib. Tapi itulah wajah keadilan negeri ini. 

Kasus Kanjuruhan baru terjadi enam bulan lalu. Enam bulan lalu. 134 warga negara yang punya masa depan dan sumbangan kepada negeri ini. 134 orang yang terbunuh dua kali. Pertama di Kanjuruhan dan kedua di ruang pengadilan. 

Banyak orang yang berargumen bahwa kita malu tidak bisa menjadi tuan rumah turnamen U-20. Saya biasanya mengajukan counter-point: Kenapa kamu tidak malu waktu ratusan orang mati sehabis menonton pertandingan sepakbola?  Tetapi mengapa kamu malu ketika bangsamu tidak berhasil menyelenggarakan turnamen U-20? Apakah karena yang mati sesama bangsamu sendiri? Jadi kamu lebih malu dengan bangsa lain karena tidak berhasil mengundang mereka kemari ketimbang bangsamu yang dimatikan saat menonton bola? 

Banyak orang akan marah dengan pendapat saya ini karena mereka sangat gandrung pada pada sepak bola. Kalau Anda marah, saran saya, coba Anda paksa kampung/desa Anda untuk sediakan lapangan sepakbola. Latih anak-anak Anda main bola dengan baik. Bikin turnamen yang baik. 

Yang lebih penting adalah jauhkan para elit dan politisi dari olah raga. Jadi, bukan hanya olahraga yang harus dipisahkan dari politik. Tetapi olah raga harus dipisahkan dan dijauhkan dari jangkauan elit dan politisi. Merekalah sumber kerusakan olahraga negeri ini. 

Olahraga itu adalah perwujudan keadaban (civility). Dan yang terpenting olahraga harus dikelola sendiri dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. Jangan sekali-kali minta dana dari para elit -- apalagi dari politisi -- dan menukarnya dengan suara di saat Pemilu. 

Tidak apa-apa tidak menjadi tuan rumah U-20. Terakhir, yang lebih penting adalah bermain bola ketimbang menonton bola. Ikut dalam permainan akan menjadikan Anda sportif, sebaliknya menjadi penonton hanya menjadikan Anda fanatik (dan konsumen).

(Tim/Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama