Aliansi Gerakan Tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tutup Indorayon, Tutup dan Usir TPL, Selamatkan Tanah Batak dari Kehancuran

Aliansi Gerakan Tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) 

Tutup Indorayon, Tutup dan Usir TPL, Selamatkan Tanah Batak dari Kehancuran 


Masyarakat Batak, terutama yang berada di Kawasan Danau Toba (KDT) membentuk Posko Perlawanan terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU) atau yang kini dikenal sebagai PT Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka membentuk Aliansi Gerakan Tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). 

Dua Posko didirikan untuk perlawanan terhadap perusahaan bubur kertas raksasa milik Sukanto Tanoto dan keluarganya itu. 

Kedua Posko itu dinamakan, satu, Sopo Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Porsea. Posko Sopo KSPPM Porsea ini terletak di Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Tidak jauh dari Desa Sosor Ladang, lokasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) beroperasi. 

Posko kedua, berada di Kota Balige. Ibukota Kabupaten Toba. Posko kedua dinamakan Sopo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Tanah Batak (AMAN Tano Batak) Balige. 

Salah seorang Juru Bicara Sopo Perlawanan Rakyat Batak terhadap PT TPL, Agus Simamora menuturkan, posko-posko itu didirikan untuk melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang kini berganti wajah menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) milik taipan Sukanto Tanoto dan keluarganya, yang telah dengan sangat sengaja bersekongkol dengan aparat Negara untuk merampas tanah-tanah Masyarakat Adat Batak di Kawasan Danau Toba (KDT). 

Selain itu, kesewenang-wenangan dan pelanggaran hukum, berupa penganiayaan, tindak pidana kekerasan, pemukulan dan pengusiran paksa terhadap warga Masyarakat Adat Batak sudah sejak puluhan tahun dilakukan oleh perusahaan yang terbukti mencemari lingkungan dan penduduk Wilayah Batak itu. 

"Posko-posko perlawanan, dengan nama Sopo Perlawanan Masyarakat Batak ini dibentuk untuk melawan dan mengusir PT TPL dari wilayah Tanah Batak. PT TPL telah nyata merusak dan menghabisi Bangso Batak dan Hak Ulayatnya. Selamatkan Kawasan Danau Toba, dari kerusakan lingkungan hidup yang kian parah oleh TPL," tutur Agus Simamora, dalam siaran persnya, Jumat (21/05/2021). 

Ini adalah peristiwa kekejian yang kesekian kalinya yang dilakukan oleh pihak PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) kepada Masyarakat Adat di Tanah Batak. 

Agus Simamora melanjutkan, pada Selasa 18 Mei 2021, pihak PT TPL dengan pengawalan pihak Polres Toba dan aparat TNI memaksa melakukan penanaman bibit pohon eucalyptus di Wilayah Adat Natumingka. Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan warga, dan menyebabkan warga mengalami tindak pidana kekerasan oleh para pegawai PT TPL yang dibekingi oleh Polisi dari Polres Toba dan TNI. 

Upaya kriminalisasi terus dilakukan oleh pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) kepada Masyarakat Adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba terus berlanjut. 

"Warga Adat Natumingka tetap bertahan untuk terus menghentikan aktivitas PT TPL di wilayah adatnya. Masyarakat Adat Natumingka sudah ratusan tahun menguasai dan mengelola Wilayah Adat titipan leluhurnya," jelasnya. 

Akan tetapi, tanpa sepengetahuan dan persetujuan Masyarakat Adat, wilayah adatnya diklaim sebagai Hutan Negara. Kemudian dilanjutkan dengan klaim sepihak bahwa sebahagian besar Wilayah Adat Natumingka diklaim sebagai konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). 

"Masyarakat Adat Natumingka tidak terima wilayah adatnya diklaim sebagai Hutan Negara dan konsesi PT TPL," imbuhnya. 

Atas peristiwa itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak mendesak Kepolisian Resort Toba (Kapolres Toba) untuk segera mengusut tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT TPL kepada Masyarakat Adat Natumingka. 

"Kami juga meminta agar selurug aktivitas PT TPL di Wilayah Adat Huta Natumingka dihentikan," ujarnya. 

Masyarakat juga mendesak pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera merevisi konsesi PT TPL di Wilayah Adat Natumingka. 

"Dan meminta Bupati Toba untuk segera menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat Huta Natumingka," tandas Agus. 

Dia juga menuturkan kronologis tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT TPL yang dibekingi aparat Kepolisian dan TNI terhadap Warga Huta Natumingka di Kabupaten Toba, Sumatera Utara itu. 

Pada Senin 17 Mei 2021, sekitar pukul 20.00 WIB, tiga orang anggota Polisi Resort (Polres) Toba datang menemui Ketua Komunitas Huta Natumingka di rumahnya. Anggota Polres Toba itu datang malam hari. Mereka memberitahukan bahwa Selasa 18 Mei 2021 pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) akan melakukan penanaman bibit pohon eucalyptus di Wilayah Adat Natumingka. 

Atas kedatangan anggota Polres Toba  pada pukul 22.00 WIB itu, secara spontan para warga bergerak menuju Simpang Titi Alam. Kemudian membuat portal untuk menghalangi jalan masuk agar pihak PT TPL tidak masuk ke areal Wilayah Adat. 

Kemudian, pada Selasa 18 Mei 2021, sekitar pukul 06.30 WIB, pihak PT TPL datang dengan membawa tenaga sekuriti dan karyawan perusahaan berjumlah 500 orang. Mereka juga mengendarai puluhan truk berisi bibit pohon eucalyptus siap tanam. 

"Oleh warga yang berjaga di Wilayah Adat, berupaya menghalangi pihak TPL yang ngotot menanami bibit pohon eucalyptus di tanah warga," ujar Agus. 

Masih pada hari yang sama, sekitar pukul 09.00 WIB, lanjutnya, aparat Polisi dan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Balige membujuk warga agar pihak PT TPL dapat melakukan penanaman bibit eucalyptus. 

"Oleh warga tetap tidak memperbolehkan PT TPL untuk melakukan penanaman di Tanah Adat Rakyat itu," lanjutnya. 

Sekitar pukul 10.30 WIB, pihak sekuriti PT TPL memberi aba-aba kepada seluruh karyawan yang masing-masing sudah memegang kayu dan batu untuk menerobos blokade barisan warga. 

"Kemudian oleh karyawan PT TPL melempari warga dengan batu dan kayu. Warga pun berlarian menghindari lemparan batu dan kayu," lanjutnya. 

Pukul 11.25 WIB, puluhan warga mengalami luka akibat tindakan kekerasan oleh pihak PT TPL. Sebanyak 5 warga Natumingka dibawa ke Puskesmas Borbor untuk mendapatkan perawatan akibat luka serius yang dialami. 

"Kami menolak tindak kekerasan yang dilakukan pihak PT TPL yang dibekingi oknum-oknum aparat Kepolisian dan TNI. Ini tanah rakyat, tanah Adat, jangan dirampas seenak hati oleh PT TPL dan antek-anteknya. Usut tuntas peristiwa kekerasan dan perampasan ini," tandas Agus. 

Sementara itu, lewat rilis yang disebarkan oleh pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL), pada Kamis, 20 Mei 2021 kemarin, PT Toba Pulp Lestari mengaku menyesalkan terjadinya aksi yang tidak diharapkan yang dilakukan oleh sekelompok orang di area operasional PT Toba Pulp Lestari  yang berada di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. 

Direktur PT Toba Pulp Lestari (TPL), Jandres Silalahi menyebut, aksi yang tidak diharapkan tersebut terjadi di wilayah kawasan hutan Negara yang menjadi kawasan konsesi PT Toba Pulp Lestari, yang telah memasuki rotasi penanaman ke-5. 

Jandres Silalahi menyatakan, aksi-aksi yang tidak diharapkan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta stakeholders lainnya. 

"Kami menyesalkan atas terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Apalagi, aksi oleh sekelompok oknum masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada," kata Jandres. 

Lokasi penanaman tersebut merupakan lokasi konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman ke-6, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992.Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2 020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. 

Atas terjadinya aksi tersebut, PT Toba Pulp Lestari akan terus mendorong dialog dan solusi yang damai dengan masyarakat guna memecahkan berbagai persoalan, dan tidak mengedepankan aksi-aksi yang dapat merugikan kedua-belah pihak, yakni masyarakat dan perusahaan. 

Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL), Norma Hutajulu menambahkan, Toba Pulp Lestari juga terus menjalankan program-program sosial melalui kolaborasi dengan masyarakat sekitar melalui kemitraan kehutanan. Yang meliputi tumpang sari tanaman pangan dengan masyarakat di area tanaman produksi, serta pola tanaman kehidupan. 

"Hal ini sesuai dengan arahan pemerintah agar perusahaan menjalankan program hutan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah operasional perusahaan," tandasnya.JON/Red

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama