Waspada Perekrutan Perempuan Sebagai Pelaku Teror


Waspada Perekrutan Perempuan Sebagai Pelaku Teror


Aksi terorisme belum lama ini kembali terjadi di Indonesia, kali ini menyasar Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri, Jakarta.

Dari tiga pelaku, dua di antaranya berjenis kelamin perempuan.

Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2001-2020), jumlah tahanan perempuan terkait aksi terorisme di seluruh Indonesia mencapai 39 orang. Meski hanya 10 persen dari jumlah laki-laki, Milda memperingatkan bahwa keterlibatan perempuan itu bisa menjadi warning bagi Indonesia. 

Pada kurun waktu 15 tahun (2001-2015), peran perempuan dalam aksi terorisme lebih pada invisble rules atau di belakang layar. Misalnya, mereka bertugas sebagai operasional fasilitator, pembawa pesan, dan perekrutan. "Perempuan-perempuan dalam kategori ini mereka tidak hanya berfungsi sebagai perekrut, tapi juga sebagai alat propaganda, karena mereka memang berada di bawah radar. Pada saat itu, yang lebih banyak mengambil peran dalam perang jihad itu laki-laki, perempuan-perempuan ini luput dari pengawasan," ungkapnya beberapa waktu di media sosial. 

Untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme, Milda mencontohkan, black widow di Rusia usai kejadian Moscow Theater Hostage 2002.

Saat itu, banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan tentara dan pelecehan seksual.

Artinya, Milda menyoroti kurangnya perhatian dalam mengungkap alasan mereka bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia, selain konteks jihad.

"Dalam hal ini, konteks perempuan tersubordinasi juga patut  dijadikan sebagai elemen penting untuk mengetahui motivasi perempuan dalam terorisme, antara lain karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan dll," imbuhnya. 

Sementara itu, pengamat terorisme Universitas Islam negeri (UIN) Walisongo, Najahan Musyafak mengatakan, aksi terorisme di Mabes Polri bukan hanya mengagetkan melainkan juga mengundang keprihatinan.

Terlebih aksi itu dilakukan seorang gadis yang mengacungkan senjata dan berakhir dengan tembakan petugas hingga pelaku tewas. "Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Sudah mulai dari tahun 2016, 2018, 2019 hanya saja perannya mereka berbeda-beda," katanya ditempat terpisah beberapa waktu lalu.

"Tapi dari sisi modusnya mereka berperan  sebagai eksekutor, sebagai suicide bomber atau pelaku bom bunuh diri. Dulu Surabaya, kemudian Makassar, sekarang di Jakarta di Mabes Polri," ujarnya.

Menurutnya, perempuan dalam pusaran aksi terorisme bukan hanya sebagai eksekutor di lapangan.

Mereka juga memiliki peran penting untuk memuluskan serangkaian aksi jaringan terorisme.

Sebab, aksi teror kerap kali tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan jaringan.

"Yang terlihat saat ini adalah sebagai suicide bomber, pelaku bom bunuh diri. Padahal di balik itu semua ada peran-peran yang dimainkan oleh perempuan, selain sebagai pelaku bom bunuh diri," pungkasnya. (Red).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama