WACANA JABATAN PRESIDEN TIGA PERIODE
Oleh: Dr.Usmar.SE.,MM
SEJAK pertama kali isu tentang jabatan Presiden tiga periode di gulirkan, yang menurut mantan Sekjen PPP periode lalu Arsul sani, bahwa yang mengusulkan hal tersebut adalah anggota Fraksi Nasdem, maka mulailah isu tersebut berkembang liar.
Meski menurut Ketua Umum Partai Nasdem dalam sambutannya saat perayaan HUT Ke-8 NasDem di JI Internasional Jatim, Surabaya, Sabtu, 23 November 2019, bahwa opini ini sebuah diskursus, "Kita harus bisa melihat ini sebagai sesuatu hal yang wajar sekali,".
Namun ketika kita melihat sampai triwulan pertama tahun 2021 ini, hal tersebut masih menjadi perbincangan yang hanya menjadi amunisi buat saling menyerang antar elit politk, menurut saya justru jadi sesuatu yang kontra produktif.
Banyak persoalan bangsa yang lain mendesak untuk diselesaikan dengan baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, ditengah pandemi covid-19 yang belum juga melandai ini.
Persoalan periodesasi jabatan Presiden sudah jelas diatur Berdasar TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang diterbitkan pada 13 November 1998, adalah salahsatu amanat Reformasi 1998, sebagai upaya agar tidak mengulangi lagi sejarah kelam era Orde Baru.
Dan di UUD 1945 juga telah diatur dalam Pasal 7 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Jadi jelas secara tersirat dan tersurat, ketentuan yang mengatur tentang periode jabatan Presiden yang dibolehkan menurut konstitusi, adalah maksimal 2 periode.
Jadi siapapun Presidennya, tetap harus tunduk dengan ketentuan UUD 1945 ini, dimana saat dilantik oleh MPR, sudah berjanji sesuai pasal 9 UUD 1945, yang berbunyi :
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsaakan memegang teguh UUD 1945".
*ELIT POLITIK TAK KREATIF*
Memang secara teori, bahwa Politik adalah seni kemungkinan. Sehingga berbagai kemungkinan dapat saja terjadi, jika memang syahwat politik semata yang mendasari pemikiran para elit politik kita.
Sesungguhnya ketika isue ini bergulir dan sampai ke Presiden, dan dengan tegas Presiden Jokowi menjawab, dengan menyatakan, "Saya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Posisi saya jelas: tak setuju dengan usul masa jabatan Presiden tiga periode,".
Dan menurut Presiden Jokowi, usulan dan wacana itu ada 3 makna, yaitu:
Satu ingin menampar muka saya. Yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja,".
Maka Menilik kalimat yang digunakan Jokowi dalam merespon isue ini, lugas dan tegas, tentu cukup memukul rasa dan adab mereka yang mencoba menggulirkan wacana 3 periode tersebut.
Jadi jika kita menggunakan nalar rasional, menyimak jawaban Presiden itu, dengan pilihan kalimat yang relatif keras, sesungguhnya sudah cukup buat elit politik untuk lebih kreatif mencari isue baru, jika memang sengaja ingin "mendinamisir" perpolitkan di tanah air.
Kalau tetap isue itu dimainkan, maka dengan tegas juga kita katakan elit politik saat ini telah melupakan kecerdasannya sendiri dan tidak kreatif dalam menciptakan diskursus baru di era digital yang sudah memasuki revolusi industri 4.0 dan society 5.0. Dan ini akan melestarikan senyum sinis dan tawa masyarakat terhadap mereka sendiri.
*PROVOKASI*
Ada beberapa kemungkinan pendapat, jika isu Presiden 3 periode tetap digoreng, meski tidak ditemukan alasan urgensinya, baik dari filosofi maupun praksisnya.
Pertama, memang para elit politik berniat membuat gaduh republik, karena belum menemukan gagasan cerdas untuk berpikir dan berbuat maksimal untuk kemajuan bangsa dan negara.
Kedua, memang sengaja memprovokasi dan menjadikan isue ini sebagai instrumen menyatukan kemarahan masyarkat.
Ketiga, untuk mengetahui pendapat para tokoh yang berminat menjadi kandidat di tahun 2024 dalam kontestasi politik Pilpres.
Kalau nantinya persoalan ikut kontestasi politik Pilpres, adalah semata soal peluang kapitalisasi sumber daya yang dimiliki bangsa dan negara ini, maka ini menjadi kewajiban kolektif anak bangsa untuk menolaknya. Karena sinyalemen pemikir politik Lord Acton, bahwa power tends to corrupt, adalah suatu kenyataan.
*INSTRUMEN REALITAS*
Saya tetap berpendapat bahwa kekuatan masyarakat itu, bukan pada kekuatan kontrol sosialnya, tapi lebih pada kemampuannya menjadikannya dirinya realitas.
Jadi jika para elit politik tetap tak kreatif dan miskin ide, dalam upaya mambangun partisiapasi aktif rakyat terhadap politik, maka dengan kekuatanya sebagai pembentuk instrumen realitas, rakyat dapat menyatukan penolakkannya, dalam sunyi dan diam, namun dapat juga sebaliknya.
Penulis: Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta / Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional
Posting Komentar