KADER PARPOL KORUPSI, MAU BERAPA LAGI?

KADER PARPOL KORUPSI, MAU BERAPA LAGI?

Oleh Suryadi
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)/
Alumni Ilmu Politik Pascasarjana Unas, Jakarta 


Banyak pemimpin berasal dari partai politik (Parpol)
 terlibat korupsi, pertanda rakyat sudah semakin 
frustrasi. Rakyat sudah tak peduli kapasitas  
dan kualitas sosok yang disodorkan Parpol 
untuk mereka pilih, 

KADER Parpol yang menjadi pejabat publik, cukup banyak. Sayangnya kemudian, mereka dalam jabatannya berbuat kejahatan yang disimbolkan dengan tikus si hewan pengerat itu.

Jelang masa jabatan kedua Presiden Jokowi, Oktober 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis jumlah kepala daerah terlibat korupsi yang mereka tangani sejak Lembaga antirasuah itu berdiri, akhir 2002.

Per tanggal 17 Oktober 2019, tak kurang dari 119 kepala daerah dari 25 provinsi terlibat korupsi. Terbanyak dari Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur,  masing-masing 14 kepala daerah berurusan dengan KPK. 

Jumlah itu genap menjadi 120 dengan ditangkapnya AMP, Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat, 27 November 2020. AMP adalah Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Kota Cimahi. Jadi, bila dirata-rata, per tahun sedikitnya enam kepala daerah terlibat korupsi. 

Di Indonesia selain terdapat 34 gubernur yang memimpin provinsi, di dalamnya tersebar 415  kabupaten dan 93 Kota. Itu berarti lebih dari 20%-nya terlibat korupsi.

Jumlah pejabat publik asal Parpol terlibat kejahatan kurupsi, tentu akan lebih banyak lagi, bila ditambah dari DPR RI, DPRD, dan Birokrasi Pemerintahan.

Terakhir, tak tanggung-tanggung EP, kader Parpol Gerindra, yang duduk di kursi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama istrinya yang anggota DPR Fraksi Gerindra, dicokok KPK. Sepulang dari Honolulu, AS, Rabu (25/11/20) dinihari keduanya ditangkap bersama lima tersangka lainnya, di Bandara Sukarno – Hatta, Tangerang, Banten. 

Masuknya kader-kader parpol ke dalam jabatan-jabatan publik termasuk pasangan Presiden – Wakil Presiden, DPR/D, menteri, dan kepala daerah, adalah melalui kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).  

Pemilu Presiden serentak dengan Legislatif (Pilpres - Pileg), kalau tidak berubah lagi sesuai selera para "penguasa pembuat undang-undang", tetap masih akan diselenggarakan secara langsung dengan sebutan mewah "pesta demokrasi".  

Demikian pula dengan Pilkada serentak. Dalam waktu dekat Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Berikutnya pada tahun 2022 bila tidak berubah menjadi diserentakkan menjadi Pemilu serentak tahun 2024. Untuk sejumlah kontetasi ini, Parpol telah dan akan menyodorkan kader-kadernya untuk dipilih rakyat menjadi pemimpin.

Mengiringi pemilihan tersebut, sudah saatnya kini pertanyaan menantang dialamatkan kepada Parpol: mau berapa banyak lagi pemimpin asal Parpol akan terjerat kejahatan korupsi?   


PARTAI POLITIK
PARPOL adalah wadah organisasi dari orang-orang yang mengikat diri dengan  ideologi dan tujuan yang sama melalui kekuasaan. Tujuan kelompok tersebut, menurut Prof. Miriam, untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Sahid, 2008: 193). 

Seperti ingin mengingatkan, ia juga mengatakan, politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik (2008: 13). Kebaikan, tentu saja, diperuntukkan bagi rakyat. Bukan untuk individu, individu yang disamarkan  seolah kelompok, atau memang kelompok. 

Meski memiliki ideologi sendiri, di Indonesia yang majemuk dalam identitas etnis, budaya, ideologi, dan agama ini, setiap Parpol dalam mencapai tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan UUD '45 dan Pancasila.  

Apa pun ideologinya, bukan pura-pura, semua Parpol hendaklah tegak dan berkiprah dengan landasan konsitusi dan ideologi negara RI yang diproklamasikan pada  17 Agustus 1945. Gerak berkembangnya pun diatur oleh undang-undang  RI  yaitu negara hukum. 

Jadi, Indonesia bukan lah negara yang dimiliki oleh para pemilik identitas baik etnis, budaya, ideologi maupun agama yang sah di negeri ini. Semua diperlakukan sama di hadapan hukum. Demikian pula terhadap kader-kader politiknya.

Di negara hukum, tak boleh ada penguasa tirani, mayoritas atau  minoritas. Di negara yang majemuk ini, semua sudah sepakat untuk respect to other dalam menjalankan keberagaman yang dibingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekali lagi, dasarnya, UUD '45 dan Pancasila. Implementasinya,  diatur melalui undang-undang (UU).
 
Korupsi, langsung atau tidak, jelas merugikan Negara serta memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang/ pihak lain termasuk institusi,  bila itu dilakukan oleh kader Parpol, dapat dipandang mengingkari tujuan mendirikan Parpol. Apalagi, dari sudut tujuan bernegara dan berpemerintahan, yaitu memberi kesejahteraan yang lebih baik dari WNI.

Dalam pemahaman seperti ini, hukum ada untuk melindungi, bukan semata-mata berfungsi menghukum. Maka, Parpol tidak cukup hanya menjatuhkan sanksi atau hukuman ketika kadernya yang duduk di kursi pejabat publik, melakukan korupsi. Misalnya, langsung menegaskan, tidak akan memberikan bantuan hukum dan memberhentikannya dari jabatan atau keanggotan di Parpol. Jika hanya itu yang bisa dilakukan, maka Parpol tak ubahnya pemadam kebakaran. Kebakaran sudah terjadi, baru bertindak memadamkannya.

Pantas ditanamkan kekhawatiran bahwa masyarakat melihatnya sekadar   sebagai upaya  cuci tangan; jaga imej setelah terlambat, atau pamer seolah-olah Parpol yang bersangkutan bersih. Tindakan semacam ini, sebenarnya, tidak banyak membantu, mengingat korupsi yang dilakukan kadernya bukan cuma sekali dua kali. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, bahwa sudah sejak lama publik curiga hasil korupsi itu juga mengalir ke Parpol.

Dugaan bahwa Parpol ikut menikmati aliran dana hasil korupsi kadernya,  memang harus bisa dibuktikan lebih dahulu. Itu kalau kembali kepada memandang hukum sekadar berfungsi menghukum. Padahal harus diakui, "hukuman sosial" jauh lebih dini ketimbang pembuktian secara matrial maupun formal di pengadilan, yang membutuhkan waktu panjang sehingga awam mengangapnya bertele-tele. Padahal, memang menempuh jalur hukum butuh waktu yang tidak singkat.

Penyebab munculnya dugaan-dugaan semacam itu, secara empirik  sebetulnya mudah ditemukan. Misalnya, publik  lebih dahulu mengetahui terlalu banyak kader Parpol yang terlibat korupsi, dari media.
 
Selain itu juga, diperkuat oleh kinerja DPR yang isinya tak lain adalah kader-kader Parpol. Terakhir, dalam penanganan korupsi, publik melihat kinerja DPR secara kasuistis yakni lolosnya revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi UU, baru-baru ini. Undang-undang ini mengatur adanya Dewan Pengawas (Dewas), yang dinilai sebagai langkah mereduksi kewenangan KPK, khususnya kewenangan menyadap telepon "calon tersangka" korupsi.
 
Politik itu soal persepsi. Maka, bisa dipahami jika publik berpandangan pengendalian serupa itu, akan berdampak pada kinerja KPK dalam menentukan siapa-siapa yang patut dikuntit untuk kemudian ditersangkakan.
   
Suka tidak suka DPR menjadi sasaran tembak masyarakat, mengingat  UU Tipikor baru memang produk DPR atas usulan Pemerintah (eksekutif). Legislatif dan eksekutif terutama Menteri dalam kabinet sebagian besar diisi oleh para kader Parpol, selain ada juga staf khusus atau staf ahli yang kader  Parpol.
 
Bagi, KPK sendiri, hikmah dari adanya Dewas, harus bisa mereka buktikan bahwa secara kuantitas dan kualitas, kinerja mereka baik pencegahan maupun  pemberantasan korupsi, tidak terhambat.       

Pada Kamis, 29 Agustus 2019, katadata.co.id melansir tingkat kepercayaan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) selama pemerintahan Jokowi mulai 2014. Survei yang melibatkan 1.220 responden itu, menempatkan DPR di urutan kelima (61%) dan Parpol di posisi terendah dengan tingkat kepercayaan 53%.
 
Kewibawaan dapat terbangun oleh tingginya kepercayaan. Patut diduga selain kinerja, faktor besar lain yang memengaruhi  kewibawaan DPR dan Parpol adalah tingkat kepercayaan rakyat. Dengan gambaran seperti itu, sulit mengharapkan pengakuan jujur rakyat bahwa masih ada Parpol yang berwibawa di mata mereka. Bahkan, Parpol baru pun ikut terimbas diragukan. Cynically-nya, bagi Parpol baru terlibat korupsi kemudian dicokok KPK, adalah hanya tinggal tunggu waktu saja. 

Dalam "Tertib Hukum", Huntington menyinggung tentang pentingnya kewibawaan pemimpin."…memilih tokoh-tokoh pemimpin yang memiliki wibawa sehingga dengan demikian berarti pula menciptakan persatuan di antara dua kekuatan sosial atau lebih." (2003: 11). Tafsir atas gambaran tersebut, boleh jadi rakyat menaruh harapan besar kepada DPR dan Parpol untuk menghadirkan  kader-kader calon pemimpin yang kualifaid dalam kapasitas dan moral yang terjaga.

Secara umum fungsi Parpol di negara mana pun dapat dikatakan sama. Tiga di antara lima fungsi Parpol, oleh Sahid disebutkan: Rekrutmen politik, yaitu proses seleksi calon-calon pemimpin yang akan mengisi berbagai jabatan publik atau jabatan politik; Partisipasi politik, yakni mengajak atau mengikutsertakan para anggota masyarakat untuk terlibat dalam berbagai macam dan tingkatan kehidupan politik; Pendidikan Politik, yaitu proses penyadaran dan pendewasaan politik para anggota masyarakat (2008: 198 – 199).

FRUSTRASI
SAMPAI saat ini Parpol masih menikmati keberuntungan dari rakyat yang patut diduga sudah frustrasi. Sikap frustrasi mereka tampilkan lewat sikap-sikap "acuh tapi mau, atau malah memaklumi". Padahal, sesungguhnya mereka apatis yang tanpa sadar ditunjukkan lewat perilaku oportunis. Ini adalah meniru perilaku Parpol yang membiarkan kadernya korupsi selama tidak terungkap KPK. 

Dengan itu, Parpol masih memetik keuntungan. Sebab, apa pun motifnya,  rakyat atau lebih tepat si pemilih masih mau memberikan suaranya di bilik suara untuk memilih calon-calon pemimpin yang disodorkan Parpol. Siapa pun calon itu,  kenal benar atau sekadar "tahu mendadak" lewat dengar-dengar.

Ada kesan bahwa Parpol enjoy menikmati keterpilihan kadernya dalam kondisi sejenis itu. Parpol melihat keterpilihan itu sebagai kemenangan sekaligus   keunggulan atas calon yang lain. Padahal, jika mau memahami jauh lebih dalam, mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya: pemilih yang frutrasi. 

Bukti paling shahih frustrasi, amat nyata. Lebih dari 120 kader Parpol yang menjadi pejabat publik, terlibat korupsi, cukup menggambarkan bahwa rakyat dari pemilihan ke pemilihan, asal pilih saja. Mereka memilih dengan harap-harap cemas atau mungkin saja pasrah. Setinggi apa kualitas, kapasitas, dan moral kader disodorkan Parpol, itu semua urusan nanti. 

Ada pula cerita lain tentang sekelompok massa terdiri atas orang-orang dewasa. Dapat diduga mereka tidak "golput" di setiap kali event pemilihan kader-kader Parpol menjadi anggota Parlemen (baca: pemimpin). Mereka lebih senang  menunjukkan kemarahannya, bahkan sampai ke tingkat mengancam atau bersifat fisik, atas nama moral dan akhlak, mengekskalasi pertentangan identitas. Tapi, nyaris sepi dari responsi terhadap kejahatan korupsi. 

MENANTANG PARPOL
PARPOL sampai hari ini harus diakui tetap dibutuhkan. Tak terbayangkan, tanpa Parpol betapa rumitnya bila seluruh rakyat yang sudah memenuhi persyarat harus menentukan pilihan wakilnya di Parlemen, di alam demokrasi ini. 

Sampai hari ini pula, sikap mereka masih abu-abu. Mereka ada di antara kepentingan-kepentingan diri pribadi sendiri, rakyat  yang diwakili dalam ikatan  cenderung primordial ketimbang rasional, diri pribadi yang diparpol-parpolkan, dan Parpol itu sendiri. 


Apapun yang terjadi, adanya DPR/D setidaknya masih ada aspirasi yang diserap. Pada saat yang sama, memang masih selalu ada jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili, dalam sikap yang dapat ditangkap dari proses legislasi dan produk yang dihasilkan dari kinerja DPR/D itu sendiri. 

Tentu saja, ada pengecualian, yaitu bagi mereka yang melihat Parlemen sekadar lapangan kerja atau peluang memperkaya diri sendiri  secara akal-akalan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan korupsi. Demikian pula, jika itu menjadi sikap kader Parpol, di eksekutif seperti menteri, kepala daerah, dan jabatan-jabatan lain seperti staf ahli dan staf khusus.

 
Korupsi memang sudah terjadi sejak lama, sejak zaman raja-raja dan penjajah. Ada yang menyebutnya dimulai dari tradisi upeti yang kemudian mencapai bentuknya berupa suap. Tak sedikit pula yang menyamakan korupsi  seperti maling, dengan melibatkan sejumlah orang dalam proses yang rumit dan canggih dalam sistem administrasi modern.


Memang, korupsi sudah berlangsung sangat lama sealur sejarah kemajuan in¬te¬¬lektualitas manusia. Menurut Syed Hussein Alatas (alm), guru besar ne¬geri jiran Malaysia, kelahiran Bogor, Jawa Barat, sejarah korupsi ber¬mu¬la se¬jak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul (Korupsi: Sifat, Se¬bab, dan Fungsi, 1987, Jakarta, LP3ES).


Sejak kapan korupsi itu terjadi, secara histrois dapat dirunut memang terjadi sepanjang masa. Modusnya pun bermacam-macam, dari yang sederhana seperti suap sampai kepada, markup, dan yang lebih canggih lagi dalam tata cara mengelabui. Tak jarang pula, ada kesimpulan yang berbau kesal, "Kalau dulu korupsi sembunyi-sembunyi, sekarang terang-terangan. Kalau dulu di bawah meja, sekarang meja-mejanya ditelan."
   

Dilihat dari latar belakang ekonomi, intelektualitas, dan status sosial para pelaku, lebih mengerikan lagi. Secara umum, mereka bukan orang kebanyakan. Mereka tergolong kelas menengah ke atas,  sehingga nyaris tak masuk akal korupsi bisa terjadi. Kemudian, muncul kesimpulan korupsi terjadi didorong hingga berpuncak sampai muncul perilaku rakus (greedy). Lihat saja, seperti sudah dilakukan  kader Parpol di Parlemen dan kabinet.


Antropolog senior, alm. Prof Teuku Jacob dalam Tragedi Negara Kesatuan Kleptokrasi menyebut sejumlah institusi serta politkus, birokrasi, dan pengusaha telah terjangkit kleptokrasi. Inti kleptokrasi adalah memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada mereka (2004: 14). Kleptomani adalah semacam penyakit jiwa yang menyebabkan seseorang punya kecenderungan untuk mencuri (J.S. Badudu, 2003: 178). 


Negara, sebenarnya tidak diam. Setidaknya dapat dibaca mulai dari zaman Bung Karno hingga negara dipimpin Joko Widodo,  telah dilahirkan belasan aturan. Mulai dari Per¬a¬tur¬an Penguasa Militer, Keppres, TAP MPR, sampai ke UU yang kini sudah direvisi sehingga mengatur adanya Dewas. 


Di era Soeharto (1968 – 1998), misalnya, berdasarkan Keppres No. 228/ 1967 tanggal 2 Desember 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi, Kemudian, ada    Kep¬¬¬pres No. 12/ 1978 yang menetapkan Komisi Empat bertugas meng¬hu¬bungi pejabat-pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer dan memeriksa dokumen-dokumen administrasi pemerintah, swasta dan la¬in-lain, juga minta bantuan kepada aparatur negara pusat dan daerah.


Di lihat dari lembaga penanganan, tersedia mulai dari sekadar tim sampai kepada KPK seperti sekarang ini. Belum lagi aparat pengawasan melekat semacam inspektur jenderal di setiap departemen/ kementerian serta badan pengawasan (Bawas) di pemerintahan daerah. 


Tentang inisiatif yang datang dari negara setidaknya dapat dilihat dari tiga pola yang diterapkan oleh suatu negara. John S.T. Quah, seorang pakar pemberantasan korupsi menyebut salah satu di antaranya, yaitu negara punya UU dengan satu badan pemberantasan korupsi yang independen. Menurutnya, inilah model yang paling efektif, karena satu badan yang semata-mata fokus pada pemberantasan korupsi tidak akan dibelokkan oleh prioritas-prioritas lain (Juwono, 2018: 13).


Di Indonesia dengan KPK-nya, agaknya, mirip-mirip dengan yang dikatakan Quash. Meski, ada varian lain dari segi lembaga yang juga berwenang langsung melakukan tindakan penegakkan hukum pemberantasan korupsi, yaitu Polri dan Kejaksaan. 


Lantas, apa yang kemudian terjadi? Korupsi tambah menjadi-jadi (catatan: di masa sebelum 1998, banyak perkara korupsi yang diselesaikan secara internal kelembagaan dengan pendekatan stabilitas). 

Pelaku utama korupsi itu tak jarang dari dalam (pemerintah) sendiri, berpartner dengan pihak eksternal seperti pengusaha. Bentuk perbuatannya mulai dari pungli, suap, sampai ke markup harga dalam pengadaan dan proyek-proyek pembangunan. Kepala daerah, penegak hukum seperti jaksa, hakim, dan pengacara. Menteri serta anggota Parlemen pun masuk dalam tarikan magnitude kejahatan korupsi.


Terkait dengan kader-kader Parpol yang terlibat korupsi di eksekutif dan legislatif, agaknya direkomendasikan langkah-langkah dari dalam parpol sendiri. Langkah-langkahnya baik bersifat pencegahan dan penindakan dengan melibatkan KPK, sehingga tidak sekadar administratif organisasi, imbauan,  dan peringatan atau pemecatan setelah terjadi.


Mekanisme pencegahan dan penindakan dapat dimulai sejak seseorang menjadi anggota hingga ketika ia sebagai kader duduk di legislatif dan eksekutif. Sehingga, langkah-langkah yang diambil lebih nyata. Kepada mereka selain dikenakan audit kekayaan yang tidak hanya melibatkan akuntan internal Parpol, tapi juga langsung menyertakan pihak KPK. Dengan demikian, bila ditemukan kejanggalan, Parpol dapat langsung memberhentikan dan menarik mereka dari tempatnya bertugas saat ini. Bahkan, bila tercium bau korupsi, langsung KPK bertindak.


Satu hal lagi, kesempatan rapat-rapat rutin yang menyertakan kader Parpol di eksekutif dan legislatif, hendaknya juga dijadikan "ajang pengumuman perkembangan harta kekayaan dan sumber-sumber yang mendongkraknya".


Ajang tersebut juga digunakan untuk mengumumkan temuan kewajaran dan kejanggalan peningkatan kekayaan kader. Bentuk-bentuk penghargaan dan hukum internal, dengan demikian, pantas disiapkan pula secara tegas  oleh internal Parpol sendiri.   


Hal tersebut harus tertuang dalam surat pernjanjian yang secara hukum mengikat kewajiban kader Parpol untuk memenuhinya dengan tanpa syarat. Imunitas, sebagai anggota Parlemen batal ketika dalam audit ditemukan kejanggalan.


Pendek kata,  Parpol dalam menghadapi kecenderungan untuk berbuat korupsi, secara dini menjadi "sangat otoriter". Pada saat yang sama, Parpol juga hanya dalam batas-batas tertentu membebani kewajiban yang bersifat uang atau dalam  bentuk materi lainnya, kepada para kadernya. 


Dengan demikian, akan sangat disadir oleh para kader, bahwa sejak menjadi pejabat publik kebebasannya sangat dibatasi oleh ketentuan inyternal Parpol dan hukum positif. Dalam kalimat lain, itulah yang menjadi pembeda meraka dari warga negara umumnya. 


Parpol yang sudah berani melakukan langkah-langkah ke dalam seperti itu, adalah tidak sekadar ikut-ikutan menjadi "pemadam kebakaran". Sebab, bertindak setelah segala sesuatunya "terbakar", itu jauh lebih mahal dan sangat menguras energi.


Parpol yang mau terbuka berbuat seperti itu, pasti Parpol yang berani membuka secara jujur tentang semua hasil audit kekayaan institusi. Ini baru lah bisa disebut Parpol milik rakyat yang kader-kader bersihnya pantas untuk dipilih duduk di kursi legislatif dan eksekutif. Sungguh suatu pengakuan masyarakat  yang luar biasa.  

Parpol harus lebih dahulu menjadi teladan dan bermoral!  


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama