Tentang Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP)
Jakarta,ANEKAFAKTA.COM
Polemik RUU HIP yang hingga hari ini terus menggelinding, terutama sekali setelah insiden pembakaran bendera salah satu Partai sah dan legal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan partai pemenang Pemilu dua kali berturut-turut, sekaligus menempatkan kadernya menjadi orang nomor satu di negeri ini, disandingkan dengan bendera partai terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dua hari lalu dalam aksi demontrasi menolak RUU HIP di depan pintu DPR RI, Jakarta (24/06) yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK), gabungan beberapa Ormas islam yang menolak dan menuntut agar pembahasan penyusunan RUU HIP dibatalkan dan menuntut agar inisiator penyusunan RUU tersebut di proses secara hukum, mereka beralasan bahwa RUU tersebut sangat mengarah kepada kebangkitan PKI dengan ideologi komunisnya. Benarkah demikian, bagaimana sebenarnya mekanisme penyusunan sebuah UU atau RUU, siapa yang berhak mengusulkan sebuah RUU, apakah para pengusul tersebut bisa di proses hukum, itulah beberapa pertanyaan yang akan menjadi ulasan dalam tulisan ini.
Siapa Pengusul RUU HIP
Pengusul RUU HIP.Adalah Fraksi-Fraksi di DPR-RI
Isi Dalam RUU HIP apa saja ya?
Dalam RUU tersebut, ada 10 bab yang terdiri dari 60 pasal. Berikut rinciannya:
Ketentuan Umum, memuat 1 pasal
Haluan Ideologi Pancasila, memuat 5 bagian dan 17 pasal
Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, memuat 15 pasal
Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, memuat 3 pasal
Haluan Ideologi Pancasila Sebagai Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan Keluarga, memuat 3 pasal.
Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, memuat 3 bagian dan 15 pasal
Partisipasi Masyarakat, memuat 1 pasal
Pendanaan, memuat 1 pasal
Ketentuan Peralihan, memuat 1 pasal
Ketentuan Penutup, memuat 3 pasal
Apa yang menjadi polemik?
1. Trisila dan Ekasila.
Banyak pihak menyoroti adanya konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal pada RUU HIP.
Kedua konsep tersebut termaktub dalam Bab II Pasal 7 yang berbunyi:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri pokok pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Di antara pihak yang menyoroti dua konsep tersebut adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas.
Menurut Anwar, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Sebab, Pancasila sebagai norma fundamental harus dilihat dalam satu kesatuan utuh dan tak bisa dipisahkan. Urutannya pun tak boleh diubah.
2. Tak Ada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mempertanyakan tak adanya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 dalam RUU HIP itu.
Menurut Mahfud, TAP MPRS yang mengatur tentang larangan ajaran komunisme/marxisme itu merupakan produk hukum mengenai peraturan perundang-perundangan yang mengikat.
Oleh sebab itu, TAP MPRS tersebut tidak bisa dicabut oleh lembaga negara maupun rancangan aturan yang digulirkan DPR.
Sikap serupa juga disampaikan oleh NU, Muhammadiyah, dan sejumlah fraksi partai.
Bagaimana Sikap Pemerintah?
Dengan beragam polemik itu, pemerintah akhirnya bersikap memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP.
"Terkait RUU HIP, pemerintah menunda untuk membahasnya," kata Mahfud melalui akun Twitter-nya, Selasa (16/6/2020).
Mahfud juga meminta agar DPR, selaku pengusul RUU HIP, lebih banyak mendengar aspirasi masyarakat. Hal ini dirangkum penulis dari berbagai sumber.
Nah, jika demikian, siapa sebenarnya yang berhak mengusulkan sebuah RUU, mari kita lihat ketentuan peraturan perundang-undangan, UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan membentuk UU ada pada DPR Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ("UUD 1945")
Selanjutnya, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang ("RUU") dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Sementara proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011") sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 15/2019"). Undang-undang ini juga mengatur secara rinci tahapan-tahapan, mekanisme, ruang lingkup, materi muatan dan sebagainya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Seturut dengan itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ("UU MD3") dan perubahannya. Disamping itu, secara jelas dalam Pasal 217 ayat (1) menjelaskan bahwa anggota DPR berhak mengajukan usulan penyusunan RUU dan ayat (2) mengatur tentang pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara hak usulan RUU diatur dalam tata tertib DPR.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019, Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011, dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.
Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengajuan sebuah RUU termasuk dalam hal ini RUU HIP diajukan atau diusulkan oleh lembaga yang berwenang yakni DPR RI.
Untuk sampai sebuah RUU menjadi UU, tentu membutuhkan proses yang panjang dan berliku dan undang-undang juga telah mengaturnya secara detail, termasuk juga didalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai hak partisipasi warga negara untuk terlibat dalam proses pembentukan Peraturan perundang-undangan juga bisa dijadikan rujukan.
Kontroversi mengenai substansi yang tercantum dalam RUU HIP tentu hanya tinggal mengacu saja pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan sudah pula penulis kutip diatas, pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR harus berpegang kepada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 yakin apakah UU yg dibentuk berisi mengenai tinda lanjut pengaturan dari UUD 1945;
perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Ini pedomannya, UU 12/2011 beserta perubahannya juga tentu mengatur asas-asas pembentukan Peraturan perundang-undangan. Disinilah kemudian pentingnya pembentuk UU mendengar dan menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya untuk menjamin bahwa produk UU yang dihasilkan kemudian selaras dan senafas dengan jiwa dan semangat rakyat Indonesia.
Berikutnya tentu, apakah para pengusul RUU itu bisa diproses secara hukum, ini tentu pertanyaan menarik, mari kita tengok kembali kepada Peraturan perundang-undangan, UU MD3-dikenal juga dahulu sebagai UU SUSDUK MPR,DPR,DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagai mana sudah penulis jelaskan diatas, mengatur tentang hak imunitas DPR.
Pasal 224 ayat (1) dan (2) UU MD3 menyatakan pada pokoknya bahwa anggota DPR tidak bisa dituntut dimuka pengadilan atas pertanyaan, pernyataan dan/atau pendapat baik lisan maupun tertulis, juga sikap, tindakan dan kegiatan yang dilakukan anggota DPR baik didalam persidangan atau diluar semata-mata atas kerangka tugas, fungsi serta hak anggota DPR dan sesuai hak konstitusional yang dimiliki anggota DPR. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 217 ayat (1) yang mengatur tentang hak anggota DPR untuk mengajukan usul pembentukan rancangan undang-undang, maka dapat dikualifikasikan para pengusul RUU HIP telah secara konstitusional memiliki hak imunitas sebagai anggota DPR karena perbuatan atau tindakan, sikap, kegiatan, pendapat yang melingkupi seluruh proses pembentukan RUU HIP tersebut adalah dalam kerangka menjalankan hal konstitusional DPR melalui anggotanya yakni fungsi legislasi.
Akhirnya, penulis tentu berharap bahwa dinamika, diskursus serta pro kontra dalam negara hukum serta demokratis adalah niscaya, tentu juga dilakukan dengan cara-cara yang berada dan konstitusional, maka ketika hal itu sudah keluar jalur, maka proses hukum harus dilakukan bagi para pelanggar hukum dan ketertiban masyarakat.
Ridwan Darmawan, SH. MH
Advokat/Anggota BBHAR DPC PDI-P Kabupaten Bogor
Red/anekafakta.com
Posting Komentar