Pakar Hukum : Terdakwa Pemalsu Dokumen Asuransi Tidak Bisa Bebas Karena Sakit
Jakarta,ANEKAFAKTA.COM
PAKAR hukum pidana Dr Alfitra SH MH dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan bahwa seorang terdakwa dalam perkara tindak pidana tidak bisa bebas dari hukuman karena terdakwanya sakit atau mengidap penyakit. Hal ini disampaikan Alfitra dalam menanggapi berlarut-larutnya sidang perkara pemalsuan dokumen asuransi dengan terdakwa Alvin Lim (AL) yang sudah berjalan 14 bulan lebih.
”Tidak ada di dalam KUHAP atau KUHP disebutkan kalau terdakwa bisa bebas dari hukuman karena yang bersangkutan sakit atau mengidap penyakit. Sakit itu tidak bisa menjadi pembenaran terdakwa tidak menjalani proses hukum lalu bebas. Kecuali terdakwa itu terbukti menderita sakit jiwa,” tegas Alfitra kepada wartawan di Jakara, Selasa (19/11).
Terkait surat keterangan dokter yang selalu dibawa dan diserahkan tim pengacara terdakwa kepada majelis hakim setiap kali persidangan. Yang mana surat dokter tersebut berisi keterangan kalau terdakwa sakit, dan menjadi alasan pengacara kalau terdakwa tidak dapat menghadiri persidangan. Menurut Alfitra, majelis hakim dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mencari kebenaran sakit tidaknya terdakwa.
Caranya, lanjut Alfitra, JPU meminta surat keterangan sakit dari dokter pemerintah atau rumah sakit pemerintah yang independent. ”Terdakwa harus diperiksa dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah, seperti RSCM, RSPAD, atau RS Polri Kramat Jati. Sehingga sakitnya itu benar-benar sudah dipastikan, dan terdakwa sama sekali tidak bisa berjalan menghadiri persidangan. Jadi bukannya surat sakit dari dokter klinik swasta atau dokter pribadinya terdakwa. Jangan seperti kejadian mantan Ketua DPR Setya Novanto yang mobilnya nabrak tiang listrik itu yang belakangan terungkap sakitnya bohong,” papar Alfitra.
Ia menyontohkan, mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani meski dalam kondisi sakit parah, diangkut ke pengadilan untuk menghadiri persidangan dirinya. Atau terdakwa penganiayaan dalam demo anarkis yang menuntut pembentukan Provinsi Taput di Medan Sumut pada 2009 lalu, meski dalam kondisi sakit parah juga dibawa jaksa ke pengadilan.
Lebih dalam lagi Alfitra menjelaskan, untuk itu JPU harus mengecek benar-benar kondisi sakitnya terdakwa, dan bukannya asal mempercayai surat keterangan sakit dari dokter swasta yang diserahkan pengacara terdakwa. Menurutnya ada potensi pelanggaran pidana dari dokter yang bersangkutan kalau memang ternyata terdakwa tidak benar-benar sakit, yakni pelanggaran Pasal 267 KUHP yang menyebutkan ancaman hukuman empat tahun penjara kalau dokter memberikan keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit dari terdakwa.
”Pelanggaran Pasal 267 KUHP kalau dokter memberi keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat seseorang. Dan Pelanggaran Pasal 263 KUHP kalau terdakwa membuat surat palsu dokter itu. JPU harus serius bergerak menangani masalah sakit tidaknya terdakwa ini. Apalagi banyak informasi yang melihat langsung terdakwa terlihat segara bugar di beberapa tempat,” urai Alfitra.
Alfitra juga menyarankan, pihak korban dari tindak pidana terdakwa untuk segera melaporkan perilaku jaksa yang sudah ”membiarkan” berlarut-larutnya proses penanganan perkara hingga 14 bulan lebih ini ke Komisi Kejaksan RI (KKRI). ”Segera laporkan ke Komisi Kejaksaan jaksanya itu,” tegas Alfitra.
Alfitra beralasan, jaksa atau JPU dalam perkara itu harus dilaporkan ke Komisi Kejaksaan RI karena kinerjanya yang ”tidak becus” karena proses persidangan yang sudah terlalu lama, dan JPU yang tidak juga bisa menghadirkan terdakwa.
”Ini kan aneh. Alamat terdakwanya sangat lengkap, tapi JPU tak juga bisa menemukan dan membawa paksa terdakwa. Jangan-jangan ada hubungan istimewa antara jaksa dengan terdakwa. Makanya saya bilang harus dilaporkan ke Komisi Kejaksaan,” pungkas Alfitra.
Untuk diketahui, sejak disidangkan perdana pada 17 September 2018, sudah digelar 49 kali persidangan, namun 35 kali terdakwa AL mangkir dari persidangan dengan alasan sakit. Bahkan majelis hakim Pengadilan Jakarta Selatan sudah dua kali mengeluarkan perintah jemput paksa terdakwa, namun jaksa tak juga berhasil menjemput paksa dengan alasan terdakwa tidak ditemukan. Terdakwa AL sendiri dijerat jaksa dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen untuk klaim asuransi, dengan nomor perkara 1036/Pid.B/2018/PN JKT.SEL.
Red
Jakarta,ANEKAFAKTA.COM
PAKAR hukum pidana Dr Alfitra SH MH dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan bahwa seorang terdakwa dalam perkara tindak pidana tidak bisa bebas dari hukuman karena terdakwanya sakit atau mengidap penyakit. Hal ini disampaikan Alfitra dalam menanggapi berlarut-larutnya sidang perkara pemalsuan dokumen asuransi dengan terdakwa Alvin Lim (AL) yang sudah berjalan 14 bulan lebih.
”Tidak ada di dalam KUHAP atau KUHP disebutkan kalau terdakwa bisa bebas dari hukuman karena yang bersangkutan sakit atau mengidap penyakit. Sakit itu tidak bisa menjadi pembenaran terdakwa tidak menjalani proses hukum lalu bebas. Kecuali terdakwa itu terbukti menderita sakit jiwa,” tegas Alfitra kepada wartawan di Jakara, Selasa (19/11).
Terkait surat keterangan dokter yang selalu dibawa dan diserahkan tim pengacara terdakwa kepada majelis hakim setiap kali persidangan. Yang mana surat dokter tersebut berisi keterangan kalau terdakwa sakit, dan menjadi alasan pengacara kalau terdakwa tidak dapat menghadiri persidangan. Menurut Alfitra, majelis hakim dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mencari kebenaran sakit tidaknya terdakwa.
Caranya, lanjut Alfitra, JPU meminta surat keterangan sakit dari dokter pemerintah atau rumah sakit pemerintah yang independent. ”Terdakwa harus diperiksa dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah, seperti RSCM, RSPAD, atau RS Polri Kramat Jati. Sehingga sakitnya itu benar-benar sudah dipastikan, dan terdakwa sama sekali tidak bisa berjalan menghadiri persidangan. Jadi bukannya surat sakit dari dokter klinik swasta atau dokter pribadinya terdakwa. Jangan seperti kejadian mantan Ketua DPR Setya Novanto yang mobilnya nabrak tiang listrik itu yang belakangan terungkap sakitnya bohong,” papar Alfitra.
Ia menyontohkan, mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani meski dalam kondisi sakit parah, diangkut ke pengadilan untuk menghadiri persidangan dirinya. Atau terdakwa penganiayaan dalam demo anarkis yang menuntut pembentukan Provinsi Taput di Medan Sumut pada 2009 lalu, meski dalam kondisi sakit parah juga dibawa jaksa ke pengadilan.
Lebih dalam lagi Alfitra menjelaskan, untuk itu JPU harus mengecek benar-benar kondisi sakitnya terdakwa, dan bukannya asal mempercayai surat keterangan sakit dari dokter swasta yang diserahkan pengacara terdakwa. Menurutnya ada potensi pelanggaran pidana dari dokter yang bersangkutan kalau memang ternyata terdakwa tidak benar-benar sakit, yakni pelanggaran Pasal 267 KUHP yang menyebutkan ancaman hukuman empat tahun penjara kalau dokter memberikan keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit dari terdakwa.
”Pelanggaran Pasal 267 KUHP kalau dokter memberi keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat seseorang. Dan Pelanggaran Pasal 263 KUHP kalau terdakwa membuat surat palsu dokter itu. JPU harus serius bergerak menangani masalah sakit tidaknya terdakwa ini. Apalagi banyak informasi yang melihat langsung terdakwa terlihat segara bugar di beberapa tempat,” urai Alfitra.
Alfitra juga menyarankan, pihak korban dari tindak pidana terdakwa untuk segera melaporkan perilaku jaksa yang sudah ”membiarkan” berlarut-larutnya proses penanganan perkara hingga 14 bulan lebih ini ke Komisi Kejaksan RI (KKRI). ”Segera laporkan ke Komisi Kejaksaan jaksanya itu,” tegas Alfitra.
Alfitra beralasan, jaksa atau JPU dalam perkara itu harus dilaporkan ke Komisi Kejaksaan RI karena kinerjanya yang ”tidak becus” karena proses persidangan yang sudah terlalu lama, dan JPU yang tidak juga bisa menghadirkan terdakwa.
”Ini kan aneh. Alamat terdakwanya sangat lengkap, tapi JPU tak juga bisa menemukan dan membawa paksa terdakwa. Jangan-jangan ada hubungan istimewa antara jaksa dengan terdakwa. Makanya saya bilang harus dilaporkan ke Komisi Kejaksaan,” pungkas Alfitra.
Untuk diketahui, sejak disidangkan perdana pada 17 September 2018, sudah digelar 49 kali persidangan, namun 35 kali terdakwa AL mangkir dari persidangan dengan alasan sakit. Bahkan majelis hakim Pengadilan Jakarta Selatan sudah dua kali mengeluarkan perintah jemput paksa terdakwa, namun jaksa tak juga berhasil menjemput paksa dengan alasan terdakwa tidak ditemukan. Terdakwa AL sendiri dijerat jaksa dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen untuk klaim asuransi, dengan nomor perkara 1036/Pid.B/2018/PN JKT.SEL.
Red
Posting Komentar